Selasa 09 Aug 2016 13:39 WIB

Orang Tua di Sleman tak Setujui Kebijakan Full Day School

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Angga Indrawan
Guru sedang mengajar/ilustrasi.
Guru sedang mengajar/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Wacana penambahan jam belajar di sekolah-sekolah negeri menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Sementara itu, kebanyakan orang tua di Sleman tidak setuju dengan kebijakan yang akan digulirkan oleh kementerian Pendidikan tersebut.

Yasinta (46) misalnya. Ibu dua anak ini mengaku keberatan jika peraturan tersebut benar-benar diterapkan. Pasalnya kebijakan tersebut akan mengurangi jam bermain dan istirahat bagi anak, meskipun dua putrinya sudah duduk di bangku SMA. 

"Kasihan anak-anak. Kan seharusnya ada jeda untuk rileks bermain. Apalagi di usia SD dan SMP, itu kan masa-masanya anak suka bermain," tutur Yasinta, Selasa (9/8). Menurutnya, jam bermain dan istirahat yang kurang dapat menyebabkan anak stres. Hal ini justru dapat mendorong pertumbuhan anak yang tidak baik.

Di sisi lain, Yasinta menilai, sampai saat ini masih ada sekolah yang belum bisa menjamin proses belajar yang pas bagi anak-anak. Sehingga anak-anak merasa tidak betah di sekolah.  Bahkan terkadang ada guru yang mengabaikan hak-hak anak dengan melakukan tindak-tindak kekerasan. Kondisi ini hanya akan membuat anak semakin tertekan, jika jam pelajaran di sekolh ditambah dari pukul 07.00 sampai 17.00.

Namun demikian, ia mengakatakan akan setuju dengan kebijakan Full Day, jika sekolah dapat menjamin proses belajar yang membuat siswa-siswi betah. Misalnya dengan mengombinasikan permainan pada jam pelajaran. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Amelia (35). Ibu satu anak ini juga tidak setuju dengan kebijakan full day. Apalagi saat ini putranya baru masuk kelas 1 SD. "Kalau baru masuk lalu disuruh belajar sampai sore kan kasihan juga," ujarnya.

Selain itu, menurutnya kebijakan Full Day bisa mengurangi interaksi anak-anak dengan orang tuanya. Sebab waktu seharian di sekolah akan membuat mereka merasa lelah saat pulang ke rumah. Sehingga anak-anak akan memilih istirahat dari pada bercengkrama dengan keluarganya. Sementara itu, Kepala SMAN 1 Kalasan, Tri Sugiharto menuturkan, sebetulnya penerapan Full Day tidak perlu dipermasalahkan. Pasalnya, selain memiliki sisi negatif, peraturan ini memiliki sisi positif.

Antara lain dapat menekan perilaku negatif anak di luar sekolah. Menurutnya, jika anak sudah memiliki kesibukan di sekolah, mereka pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal percuma setelah pulang sekolah. Namun demikian, Tri menuturkan, penerapan kebijakan Full Day sendiri harus dirancang secara seimbang. Di mana anak-anak tidak melulu dicekoki dengan beban-beban akademik. Misalnya dengan memberlakukan kegiatan ekstrakulikuler di atas pukul 13.00.

"Di pagi hari sampai siang anak-anak belajar biasa. Nah mulai siang sampai sore anak-anak diikutkan program keterampilan atau ekstrakulikuler," tutur Tri. Sementara khusus bagi siswa kelas XII, memang harus mengikuti tambahan jam pemantapan belajar untuk menghadapi ujian nasional dan akhir sekolah.

Sri menilai, kebijakan Full Day sendiri sebenarnya cukup memungkinkan untuk diterapkan di seluruh sekolah. Karena saat ini pun sudah ada sekolah-sekolah swasta yang melakukan kebjakan tersebut, baik SD, SMP, maupun SMA. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement