REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) menjadi tuntutan yang harus dipenuhi para pelaku usaha atau pelaku industri kayu di tanah air. Selain telah menjadi tuntutan pasar di Uni Eropa, sertivikasi V-legal ini juga bakal dipersyaratkan pada pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah di dalam negeri.
Hal ini disampaikan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, IB Putera Prathama saat membuka Sosialisasi Lisensi Forest Law Enorcement Governance and Trade (FLEGT), Selasa (23/8).
Pada kesempatan ini, Putera menjelaskan, sosialisasi Lisensi FLEGT bagi para pengusaha di Jawa Tengah cukup penting. Khususnya untuk memahami dengan benar apa sebenarnya lisensi ini.
Sebelum diterbitkannya Lisensi FLEGT ini, Indonesia sudah memiliki dokumen V-legal hasil dari sertivikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Yang menjadi pembeda, sekarang dokumen V-Legal ini diperlakukan sebagai lisensi FLEGT yang dipersyaratkan oleh negara-negara Uni Eropa. Artinya seluruh produk kayu Indonesia leluasa masuk ke 28 negara Uni Eropa, karena telah dilengkapi lisensi FLEGT dan bebas dari uji tuntas (Due Diligence).
“Ini harus dilihat pengusaha sebagai sebuah keuntungan untuk meguasai pasar Uni Eropa, yang sudah sejak sekian tahun kita tunggu-tunggu,” ujarnya.
Putera menambahkan, sejak tahun 2013 atau semenjak diberlakukan SVLK, nilai ekspor produk kayu Indonesia terus mengalami kenaikan. Bahkan pada tahun 2015 lalu nilai ekspor kayu Indonesia ini melinjak dua kali lipat dari tahun 2014.
Tahun 2016 hingga bulan Juli, total nilai ekspor kayu Indonesia telah mencapai 5 miliar dolar AS ke seluruh dunia. Uni Eropa memang masih sekitar 11 persen dari total nilai ekspor kayu Indonesia ke seluruh dunia. Nilai ekspor terbesar masih dipegang ekspor produk kayu ke Cina, Jepang dan Korea.
Namun meski 11 persen Uni Eropa akan menjadi barometer tentang persyaratan- persyaratan tentang legalitas kayu. Terkait dengan hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan terus mendorong dan memfasilitasi memberikan berbagai kemudahan para pelaku usaha yang hingga saat ini belum merespon pengurusan dokumen SVLK.
Putera mengakui, dalam membudayakan V-legal ini kendala justru ada di masyarakat Indonesia sendiri. Khususnya mereka yang masih suka membeli kayu-kayu illegal. “Kami berharap, kesadaran terhadap SVLK ini bias menjadi gaya hidup pelaku usaha kayu di negeri ini,” tambahnya.