REPUBLIKA.CO.ID,TANGERANG -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, masih rendahnya rasio pinjaman terhadap pendanaan atau Loan to Funding Ratio (LFR) pada Semester I 2016 karena pertumbuhan ekonomi yang masih rendah.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad mengatakan, LFR baru mulai menggeliat di kuartal II.
"Ini bukan sesuatu yang aneh karena moderasi pertumbuhan ekonominya masih rendah, menggeliat lagi di kuartal kedua. Kita harapkan kuartal ketiga bisa berlanjut menggeliat lah,"ujar Muliaman saat ditemui di Tangerang, Senin (29/8).
Pada Selasa (23/8) lalu, Bank Indonesia (BI) pada Surat Edaran Nomor 18/18/DKMP tentang Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional resmi memberlakukan kenaikan rasio LFR menjadi 80 persen dari sebelumnya LFR 78 persen, sedangkan batas atas LFR sebesar 92 persen. Alasan bank sentral menaikkan batas bawah rasio LFR ini agar bank semakin gencar meningkatkan pertumbuhan kredit. BI mencatat ada 34 bank yang memiliki rasio LFR di bawah 78 persen.
Menurut Muliaman, ia optimistis pada kuartal III ini perbankan akan memacu penyaluran kreditnya, seiring perbaikan ekonomi. Terkait dengan relaksasi aturan Loan to Value (LTV), aturan ini dinilai dapat mendorong pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) pada semester II 2016, namun juga banyak ditentukan oleh geliat ekonomi.
"Intinya kita harapkan kredit properti mulai meningkat, sejalan dengan peaking up-nya pertumbuhan ekonomi," katanya.
Meski Bank Indonesia (BI) memproyeksi pertumbuhan kredit hanya akan mencapai angka 7-9 persen di semester II 2016, namun menurut Muliaman bank yang tergabung dalam bank umum kegiatan usaha atau BUKU III dan IV meyakini akan tumbuh di kisaran double digit.
Keyakinan itu tercermin dari revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) yang diajukan bank pada Juni 2016 lalu.
"Kalau berdasarkan RBB, itu sekitar 11 persen. Tapi kita lihatlah September ini. Mudah-mudahan tax amnesty juga bisa dorong ini," katanya.