REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mengatakan, konglomerat pengemplang pajak serta wajib pajak yang menyembunyikan dananya di luar negeri seharusnya diberikan sanksi yang lebih berat. Bukan malah ditawari pengampunan.
"Karena itu, Aspek Indonesia mendesak majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," kata Mirah melalui pesan tertulis di Jakarta, Rabu (31/8).
Mirah mendesak MK membatalkan dan menyatakan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak berlaku sesuai permohonan uji materi yang diajukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ada ketidakadilan pelaksanaan Undang-undang tersebut.
Salah satu bentuk ketidakadilan itu adalah kelompok pekerja yang selama ini tertib membayar pajak yang langsung dipotong dari penghasilan malah dihilangkan haknya untuk memperjuangkan kenaikan upah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. "Penolakan Undang-Undang Pengampunan Pajak bukan hanya disuarakan oleh kalangan serikat pekerja saja, melainkan juga oleh berbagai kalangan serta tokoh. Bila tujuan pemerintah menambah pendapatan pajak negara, seharusnya bukan dengan memanjakan para pengemplang pajak," katanya.
Menurut Mirah, pemerintah harus adil dalam memberlakukan ketentuan pajak. Jangan pengemplang pajak diberikan pengampunan, sementara rakyat kecil terus dipungut pajaknya.
Mirah menilai, Undang-Undang Pengampunan Pajak membuktikan bahwa pemerintah telah gagal mengelola keuangan negara dan lebih mengedepankan kepentingan pengusaha yang selama ini lari dari kewajiban membayar pajak kepada negara. "Aspek Indonesia sebagai afiliasi dari KSPI, akan memperjuangkan keadilan sosial tanpa amnesti pajak bersama-sama dengan rakyat," ujarya.