REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sidang ke-18 kasus kopi bersianida, kuasa hukum Jessica Kumala Wongso menghadirkan saksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Quensland, Brisbane, Australia, Beng Beng Ong. Ahli Patologi Forensik itu menyimpulkan Wayan Mirna Solihin tak bisa dipastikan tewas karena racun sianida.
Menanggapi itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ardito Muwardi mengatakan, kesimpulan Beng Ong hanya tidak bisa memastikan apa penyebab kematian Mirna. "Dia bukan toksikolog (ahli racun), dan tidak bisa meyakini 100 persen kalau mati karena sianida. Artinya, kalau mati karena sianida juga bisa. Pandangan beliau itu karena tidak dilakukan autopsi penuh," kata Ardito di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (5/9).
Namun, ia tak memungkiri bahwa beberapa ahli forensik yang dihadirkan pihaknya pada persidangan lalu juga menyebut pentingnya autopsi. Karena, menurut Ardito, autopsi memang merupakan standar bagi sejumlah dokter forensik.
"Namun kondisi sosial dan kondisi masyarakat kita yang memberikan penilaian, memberikan penghormatan sedemikian rupa terhadap jenazah, sehingga menghambat autopsi seratus persen," kata dia.
Selain kondisi sosial, aturan hukum di Indonesia juga tak mengharuskan dilakukannya autopsi. Bahkan, kata Ardito, di beberapa negara maju, langkah autopsi sebisa mungkin tidak dilakukan.
"Ada teknologi untuk tidak dilakukan autopsi penuh. Bisa dilakukan dengan mengamati. Keharusan autopsi tidak jadi sebuah yang mutlak dilaksanakan. Memang autopsi golden standart tidak bisa dipungkiri," kata Ardito.