REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung mengaku masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi Setya Novanto terkait UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
"Kita harus pelajari dahulu putusan MK, nanti kita akan sampaikan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Rum di Jakarta, Rabu.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah belum menanggapi putusan itu meski sudah ditanyakan melalui pesan singkatnya. Penyelidikan kasus 'Papa Minta Saham' yang ditangani JAM Pidsus itulah yang menjadi dasar Setya Novanto, mantan Ketua DPR mengajukan uji materi karena Kejagung berkeyakinan ada permufakatan jahat melalui rekaman.
Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (7/9)
Sebelumnya Novanto menggugat UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan yang sah, terutama dengan dokumen elektronik hasil dari penyadapan.
Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat bahwa penyadapan adalah kegiatan yang dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Begitu pula dalam konteks penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan penyadapan juga seharusnya sangat dibatasi.
"Penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.
Berdasarkan hal itu maka Mahkamah menilai perlu memberi tafsir terhadap frasa "informasi elektronik dan atau dokumen elektronik" yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.
Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian.
Mahkamah kemudian berpendapat bahwa ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.