REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengomentari dikabulkannya gugatan uji materi Undang-Undang ITE yang diajukan Setya Novanto oleh Mahkamah Konstitusi (MK), terkait rekaman penyadapan "papa minta saham". Fahri mengaitkan hal tersebut dengan kondisinya saat ini yang dipecat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Gara-gara membela posisi SN (Setya Novanto), saya dipecat. Sekarang SN dibela MK, Nasibku gimana dong? hehe..," tulisnya dalam akun twitter miliknya, @Fahrihamzah.
Fahri mengatakan, sejak awal ia telah menilai rekaman percakapan antara Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, adalah ilegal.
"Logikanya gini: Merekam omongan orang diam-diam itu mencuri, Maka: 1. Gak boleh ketahuan. 2. Kalau ketahuan hasil curian itu ilegal," tulisnya lagi.
"Dalam logika bernegara, hanya ada 1 lembaga yang boleh mencuri tapi gak boleh ketahuan: intelijen. Logikanya: negara perlu INDERA untuk menjaga negara, tapi dia hanya boleh dilekatkan kepada 1 orang: Presiden," jelasnya.
Fahri melanjutkan, maka dalam Undang-Undang Intelijen disebutkan bahwa pengaturan dan penggunaannya ketat. Kemudian hasil operasi intelijen termasuk penyadapan hanya boleh dipakai Presiden dan tidak boleh menjadi alat bukti.
"Lalu bagaimana dengan penyadapan oleh penegak hukum? UU mengatur seolah 'boleh mencuri untuk kepentingan hukum tapi harus ijin hakim'. Di sinilah bedanya mencuri yang dilegalkan dengan mencuri yang gak pernah dilegalkan tapi jangan ketahuan," tulisnya lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (7/9).