Kamis 08 Sep 2016 13:45 WIB
MK Kabulkan Gugatan Setnov

Golkar Ingin Nama Baik Setya Novanto Direhabilitasi

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto
Foto: Ali Mansur
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir berharap nama baik Setya Novanto (SN) yang pernah terlibat kasus 'papa minta saham' saat Menjabat Ketua DPR bisa dipulihkan.

Hal itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti penegakan hukum atas permintaan kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya sebagaimana diatur dalam UU ITE.

"DPR dapat merehabilitasi nama baik Pak SN, dalam kapasitas kedudukan beliau sebagai ketua DPR saat itu," kata Adies di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9).

Adies berpendapat, dikabulkannya gugatan tersebut oleh MK membuktikan, apa yang pernah dituduhkan pada Setya Novanto (SN), yakni meminta saham pada PT Freeport Indonesia, tidaklah benar.

Namun begitu, nama baik Setya Novanto terlanjur tercoreng, setelah MKD menggelar sidang kasus rekaman percakapan yang menyebutkan, Setya Novanto (SN) meminta saham ke PT Freeport Indonesia.

"MKD mengeluarkan putusan berdasarkan laporan. Mungkin saja putusan tersebut ditinjau kembali apabila ada laporan ke MKD dari pihak-pihak yang dirugikan atas keluarnya keputusan MK tersebut," ujarnya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

Novanto menggugat UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan yang sah, terutama dengan dokumen elektronik hasil dari penyadapan.

Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat bahwa penyadapan adalah kegiatan yang dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Begitu pula dalam konteks penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan penyadapan juga seharusnya sangat dibatasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement