REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah berpendapat, dikabulkannya gugatan Setya Novanto soal pasal penyadapan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus menjadi peringatan bagi aparat penegak hukum. Ini karena aparat tidak bisa menggunakan rekaman ilegal menjadi alat bukti.
"Seluruh penegak hukum ini harus waspada, bahwa tidak boleh mendapatkan alat bukti secara ilegal," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu di Gedung DPR, Kamis (8/9).
Konsepnya, lanjut Fahri, penyadapan itu hanya bisa dilakukan oleh dua pihak. Pertama, penyadapan bisa dilakukan oleh intelijen untuk kepentingan presiden. "Siapa saja bahkan presiden negara lain pun kalau mau direkam silakan saja, asal jangan sampai ketahuan. Nanti kena getok kalau ketahuan," terang Fahri.
Kedua, penyadapan bisa dilakukan untuk kepenyingan penegakan hukum. Itu pin harus harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pengadilan. Konsep penyadapan itu tidak bisa diganggu gugat karena merupakan prosedur dalam bernegara.
"Nah kalau ada orang tiba- tiba menyadap untuk kepentingan pribadi itu kalau ketahuan, terbongkar dan bocor, dia harus tanggung jawab," ucap Fahri.
Kewenangan penyadapan tersebut jika dilakukan secara tertib dan berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka negara ini pun akan tertib. Tetapi, kalau penyadapan itu dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kewenangan, maka kegaduhan yang akan terjadi.
"Coba bayangkan, kita berapa bulan ribut di MKD itu, kiri kanan gak jelas. Ternyata itu gak penting karena alat buktinya aja ilegal. Tapi berapa energi kita habis untuk ramai 'papa minta saham' lah itu rugi semua," kata Fahri.