REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum di Indonesia dinilai begitu mudah diobrak-abrik oleh kekuasaan elite partai politik. Salah satu contohnya menurut Direktur Center for Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi adalah kasus 'Papa Minta Saham' yang menjerat mantan ketua DPR, Setya Novanto.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Novanto. Permohonan yang dikabulkan itu berkaitan dengan kasus pemufakatan jahat yang dituduhkan ke Novanto, yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung. "Sangat prihatin dengan penegakan hukum saat ini," ujar dia dalam keterangannya, Jumat (9/9).
Terlebih MK membuktikan tidak ada pemufakatan jahat yang dilakukan Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Artinya, dalam hal ini Kejagung lagi-lagi terlihat jelas 'gegabah' dalam melaksanakan hukum di Indonesia. "Karena di bawah kader partai, sehingga Kejaksaan Agung bertindak gegabah," ucap dia.
Karena saat ini Partai Golkar sudah bergabung dengan pemerintah, dia pun menyakini Jaksa Agung tidak akan mengusik ketenangan Setnov. Artinya, selama Golkar tak bergangung ke pemerintah, maka jelas ini ada dorongan dari elite politik yang sengaja memainkannya.
"Jadi kasus hukum ini sengaja dipakai untuk mendongkel lawan-lawan yang sedang berkuasa karena dianggap mengganggu lawan bisnis," ujar Uchok.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur soal penyadapan. Majelis menyatakan, pemberlakuan penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE.
MK juga mengabulkan sepenuhnya uji materi terkait Pasal 15 UU Tipikor yang mengatur pemufakatan jahat. MK menyatakan pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945.