REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keputusan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak meloloskan empat dari tujuh calon Hakim Agung yang direkomendasikan Komisi Yudisial (KY) menunjukan terdapatnya perbedaan parameter dalam menilai kandidat Hakim Agung.
Melihat disparitas tersebut, Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) Rivai Kusumanegara memberikan alternatif parameter yang dapat digunakan keduanya dalam menilai calon Hakim Agung. "Rekam jejak calon Hakim Agung dalam memberi akses keadilan bagi masyarakat miskin kiranya bisa menjadi alternatif penilaian," ujar Rivai kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Rivai mengaku banyak menemukan putusan hakim yang memberi keadilan bagi masyarakat miskin saat menyelenggarakan Pro Bono Award Peradi pada awal tahun 2016. Putusan mana menunjukan perilaku hakim yang bersih karena masyarakat miskin tidak mungkin lakukan gratifikasi.
Selain PBH Peradi, putusan-putusan tersebut tersimpan di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai lembaga Pemerintah yang mengelola bantuan hukum bagi masyarakat miskin. "Dari putusan tersebut dapat terlihat argumentasi hukum yang berkwalitas dan bersifat original dalam arti dibuat jauh sebelum mencalonkan diri sebagai Hakim Agung," jelas Rivai.
Rivai menjelaskan, parameter pro bono alias pemberian layanan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat memotivasi semua hakim di seluruh tanah air untuk memberi perhatian lebih bagi keadilan masyarakat miskin, sehingga Indonesia bisa terbebas dari praktek hukum yang tajam ke bawah.