REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan, pemerintah Indonesia tidak akan membiarkan warga negaranya terlalu lama disekap dan dijadikan alat kelompok separatis untuk meraup keuntungan.
Pernyataan tersebut diungkapkan Menko Polhukam merujuk pada lima WNI yang masih menjadi sandera kelompok separatis asal Filipina, Abu Sayyaf. Sampai saat ini sudah tiga WNI dibebaskan pada Ahad (18/7) dan satu lagi WNI sedang dalam proses pembebasan.
"Sandera yang belum (bebas) bagaimana? Terus diupayakan, tidak didiamkan. Selalu kami usahakan dengan cara terbaik untuk membebaskan mereka," ujar Wiranto, Rabu (21/9).
Mantan Panglima ABRI itu berharap masyarakat bisa mempercayakan upaya penyelamatan sandera kepada pemerintah Indonesia dan Filipina. Kedua negara telah menyepakati kerja sama untuk memerangi penculikan dan perompakan melalui beberapa cara seperti patroli maritim bersama dan latihan operasi militer darat.
Bukan saja warga Indonesia, pemerintah Filipina pun mengaku merugi karena tindakan kelompok Abu Sayyaf telah menyebabkan pasokan batu bara Indonesia yang menjadi sumber energi listrik di negara tersebut menjadi terganggu.
"Karena itu kedua negara berusaha menyelesaikan masalah ini. Ke depannya kita berharap bisa mengeliminasi secara total, jangan sampai kita menjadi mesin ATM dari suatu kelompok separatis yang sekarang orientasinya bukan politik atau ideologi tetapi mencari uang," kata Wiranto.
Faktanya, tiga WNI asal Bulukumba, Nusa Tenggara Timur, baru berhasil dibebaskan pada September setelah menjadi tawanan kelompok Abu Sayyaf sejak Juli lalu. Lorens Lagadoni Koten (34), Teodorus Kopong Koten (42), Emanuel Arakian Maran (40) merupakan anak buah kapal pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Len yang diculik di perairan Lahad Datu, Malaysia.
Sementara lima WNI lain yang merupakan ABK tongkang Charles 001 dan kapal tongkang Robby 152 yang telah diculik sejak Mei lalu, nasibnya belum bisa dipastikan.