REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Dewan Keamanan Nasional (MGK) Turki menyerukan perpanjangan status darurat yang diberlakukan setelah kudeta militer pada 15 Juli lalu. Hingga kini sudah ada 32 ribu tersangka yang ditahan atas peristiwa tersebut.
MGK mengatakan, status darurat harus diperpanjang untuk memastikan demokrasi, supremasi hukum, dan hak-hak kebebasan warga negara bisa terlindungi. Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di istana presiden, Ankara.
Status darurat membuat Pemerintah memberikan tindakan hukum yang keras dalam sejarah modern Turki. Keadaan tersebut juga meningkatkan kewaspadaan negara-negara di Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap Turki.
Dilansir dari Strait Times, Erdogan menyatakan Turki dalam status darurat selama tiga bulan, setelah kudeta gagal dilakukan oleh militer. Dengan demikian, status darurat akan berakhir pada pertengahan Oktober.
Pernyataan yang diungkapkan MGK menjadi sinyal akan diperpanjangnya status darurat di Turki. Namun, belum diketahui perpanjangan status darurat tersebut akan kembali berlangsung selama tiga bulan.
Sejumlah aktivis menuduh Pemerintah Turki mencoba mengikis hukum dengan diberlakukannya status darurat. Meski demikian, pihak berwenang menepis hal itu dan mengatakan ada langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menghukum pendukung Fethullah Gulen, yang dituduh ada dibalik kudeta.
Secara terpisah, dewan merekomendasikan 15 Juli sebagai Hari Demokrasi dan Kebebasan yang dirayakan tahunan di Turki.
Menteri Kehakiman Turki Bekir Bozdag mengatakan sekitar 70 ribu orang berada dalam penyelidikan pascakudeta. Sedikitnya 32 ribu orang telah resmi ditahan.