REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Para aktivis hak asasi manusia (HAM) mendesak pemerintah agar segera membuka dokumen investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir. Di Kota Batu, yang merupakan kampung halaman Munir, sejumlah aktivis menyuarakan agar pemerintah bersikap tegas dan tak berkelit.
Ketua Badan Pengurus Kontras Surabaya, Andi Irfan, mempertanyakan komitmen pemerintahan Presiden Jokowi dalam menuntaskan kasus ini. "Kami belum melihat adanya harapan dari sisi komitmen pada pemerintahan Jokowi," katanya dalam Diskusi Publik: Pemerintah Wajib Membuka Hasil TPF Munir, di Omah Munir pada Senin (17/10).
Perjalanan mengungkap kematian Munir yang panjang dan berbelit, lanjutnya, adalah salah satu kasus impunitas yang terjadi di Tanah Air. Apalagi, dokumen yang diserahkan ke Istana pada 2005 di era Presiden SBY malah dinyatakan hilang ketika Kontras memenangkan gugatan atas Sekretariat Negara di Komisi Informasi Publik pekan lalu.
Menurut Andi, orang-orang di sekeliling Jokowi dan SBY tak jauh berbeda. Militer di lingkaran kedua presiden tersebut memiliki korelasi yang sama dengan kejahatan HAM di masa lalu. "Tingkat kejahatan di masa lalu juga sama," imbuhnya.
Bahkan mantan kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono hingga saat ini tak kunjung bisa dimintai keterangan soal kasus Munir. Dalam pandangan Andi, komitmen SBY dan Jokowi sebatas memberi ruang bicara kepada orang-orang yang dikorbankan dalam berbagai kasus HAM.
SBY dan Jokowi disebut sama-sama gemar melakukan pencitraan namun dengan caranya masing-masing. "Keduanya sama-sama pakai 'bedak', hanya merek bedaknya saja yang berbeda," tandasnya.
Utomo Raharjo, ayah dari aktivis Petrus Bimo Anugrah yang hilang pada 1998, menagih janji pemerintah yang dulu pernah menjanjikan pengusutan kasus HAM. "Saya meyakini dokumen investigasi itu masih ada, kita jangan gentar dengan banyaknya militer di lingkaran pemerintah," ujar mantan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia ini.