REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Rizky Suryarandika, Amri Amrullah
Kasus pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib tepat hari ini, 7 September 2021 genap berusia 17 tahun. Namun, hingga kini, kasus tersebut belum juga menemukan titik terang karena dalang atau aktor intelektual pembunuhan Munir belum terungkap.
Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad mengatakan, perlu upaya konkret Komnas HAM agar menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai salah satu kasus HAM berat dan bukan tindak pidana pembunuhan biasa. Sebab, menurut dia, hal tersebut sangat penting untuk mengungkap siapa dalang di balik kasus tersebut.
“Kami telah meminta untuk menetapkannya, sejak tahun lalu KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) telah memohonkan kepada Komnas HAM,” kata Husein dalam jumpa pers yang dilakukan secara virtual, Selasa (7/9).
Husein menuturkan, berdasarkan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, aktor intelektual pembunuhan tersebut masih bebas dan berada dalam lingkungan kekuasaan. “Tapi mastermind atau otak di belakangnya hingga kini masih melenggang bebas dan bahkan beberapa yang disebut dalam dokumen TPF itu berada di lingkaran kekuasaan,” ungkap dia.
Ia menilai, jika dalang pembunuhan Munir masih bebas berkeliaran, maka dapat membahayakan aktivitas pembelaan HAM di Indonesia. Sebab, jelas dia, bila peristiwa itu bisa terjadi kepada Munir, maka hal serupa juga bisa terjadi terhadap siapapun yang melakukan pembelaan HAM.
Oleh karena itu, Husein menyebut, pemerintah tidak bisa terus menerus membiarkan atau mendiamkan kasus pembunuhan Munir. Menurutnya, upaya pengungkapan otak pembunuhan ini tidak hanya sebagai bentuk keadilan untuk Munir, tetapi juga demi keadilan serta rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Pak Jokowi perlu membuktikan komitmennya pada penegakkan hak asasi manusia. Bila Pak Jokowi bisa menyelesaikan kasus Munir, maka akan menjadi legacy yang bisa menjadi statement sebagai presiden yang berhasil menyelesaikan kasus Munir,” tutur dia.
Namun, sebaliknya, Husein menyampaikan, jika Jokowi tak kunjung menuntaskan kasus pembunuhan Munir, masyarakat akan menilai bahwa pemerintah tidak peduli sama sekali dengan kasus Munir. “Saya kira kasus Munir adalah kunci pembuktian bahwa Jokowi peduli terhadap HAM dan demokrasi,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana mengatakan, pemerintah harus mendukung dan melakukan berbagai upaya untuk menuntaskan kasus Munir. Sehingga, keadilan dapat diberikan kepada keluarga Munir dan juga seluruh masyarakat Indonesia.
“Terungkap kebenaran, korban mendapat keadilan, dan kita harapkan tidak berulang kasus-kasus demikian. Caranya dengan apa? Mendukung Komnas HAM dalam menetapkan kasus Cak Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat,” tegas Arif.
Aktivis KASUM ini juga menyinggung komitmen Presiden Jokowi dalam mengungkap kasus pembunuhan Munir. Menurut Arif, Presiden dapat melakukan berbagai langkah konkret untuk mencari fakta baru dalam menuntaskan kasus tersebut. Salah satunya adalah memerintahkan kepolisian.
“Saya kira penting sekali bagi Presiden untuk kemudian memerintahkan aparat kepolisian, kalau memang serius untuk kemudian bekerja, masih ada waktu,” ucapnya.
“Ketika Presiden betul-betul memiliki komitmen dan bukan hanya pencitraan, bukan hanya menjadi komoditas politiknya saja, mestinya itu ditunjukkan dengan hal-hal yang bisa kita saksikan bersama, betul-betul untuk kemajuan penanganan kasus Cak Munir, bukan hanya mengumbar janji,” imbuhnya.
Diketahui, Munir tewas diracun dalam penerbangannya dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Kematian Munir menyeret pilot Garuda, Pollycarpus.
Pollycarpus dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir. Ia sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, setelah memohon peninjauan kembali, hukumannya menjadi 14 tahun penjara. Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.
In Picture: Komik Munir Diluncurkan di Jakarta