REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seperti lirik lagunya Ran, meski jauh di mata namun dekat di hati, itulah yang saya rasakan saat menjalani studi di luar negeri di Monash University.
Di saat itu pula rasa kecintaan terhadap tanah air diuji. Namun berbekal pengalaman hidup di pondok pesantren telah membekali saya untuk memahami negeri tercinta baik dari jauh dan dekat.
Terlebih Oktober menyimpan dua momentum besar, yakni Hari Santri Nasional dan Sumpah Pemuda. Lalu, peran dan pesan apa yang bisa saya ambil untuk merawat Indonesia dari jauh dan dekat dari dua momentum tersebut.
Peran pertama yang saya ambil ialah menjadi master of ceremony pada seminar kebangsaan memperingati Hari Santri Nasional di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne. Seminar tersebut diisi mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.
Dalam pidatonya ia berpesan Wali Songo itu mengindonesiakan Islam, bukan mengislamkan Indonesia. "Ini metode dakwah santri karena Indonesia dibangun atas perjanjian luhur. Demokrasi jalan untuk menjaga kemajemukan bangsa. Santri harus merawatnya,” katanya.
Pesan Prof Mahfud pun mengingatkan saya untuk melihat dan memahami negeri tercinta dari dekat, misalnya dulu saat menjalani kehidupan di pondok pesantren. Sejak pagi saya harus bersabar mengantre di kamar mandi, kemudian sarapan nasi dengan sambal dan tempe goreng bersama teman-teman dalam satu wadah besar, dan melakukan hal-hal secara mandiri.
Nilai kesabaran, gotong rotong (kebersamaan) dan kesahajaan yang saya dapatkan dari pesantren menjadi modal bagi saya belajar memahami keadaan sekitar. Lebih dari itu, pesantren mengenalkan saya kehidupan sosial yang lebih dekat.
Saat malam Jumat, saya mengikuti bapak kiai (pengasuh pesantren) untuk mengkhatamkan bacaan Alquran dan shalawatan bersama teman-teman. Pesantren didirikan untuk mengajarkan ilmu agama agar dipahami dan dimengerti oleh santri dengan melestrasikan tradisi lama yang baik dan menciptakan tradisi baru yang lebih baik.
Kondisi ini seperti semangat KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang menjadi role model dalam memahami kondisi sekitar dengan cara jernih melihat, cerdas bertindak dan teguh dalam memegang prinsip.
Peran selanjutnya, yakni menjadi panitia dalam peluncuran buku berjudul Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD. Buku yang merupakan kolaborasi tulisan dari berbagai penerima beasiswa seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Australia Awards Scholarship (AAS), Endeavour, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), dan beasiswa dari Monash University yang tergabung dalam Social Researcher Forum (SRF).
Dibalik acara dari peluncuran buku ini, ada pesan yang saya pahami dari kegiatan ini. Dimana acara ini pada dasarnya ialah momentum untuk menyatukan pemuda-pemudi Indonesia yang berada di Victoria untuk bersinergi dan bersatu pada momentum Sumpah Pemuda terlepas dari perbedaan suku, asal wilayah, jenis beasiswa, bahasa daerah dan jenjang studi di Indonesia.
Dengan adanya dua momentum besar dalam sejarah Indonesia, maka sebagai generasi muda yang bisa saya lakukan untuk mengenang jasa para ulama dan pahlawan kemerdekaan ialah dengan berusaha untuk berkontribusi dimanapun saya berada. Kontribusi tersebut bisa diwujudkan dengan terlibat di kegiatan sosial dan berusaha memahami kondisi lingkungan sekitar dengan tetap menjaga identitas dan kebudayaan bangsa.
Meski berada di Australia, namun Indonesia selalu dekat di hati. Dimana pun anak bangsa boleh berbeda, tapi tetap bersaudara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.
*Siti Nurkhasanah sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Monash University di Melbourne, dan sebelumnya adalah alumni IAIN Salatiga di Jawa Tengah. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.