Kamis 03 Nov 2016 18:17 WIB

Denda Cicilan Kredit Apa Hukumnya?

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Puluhan warga Desa Candi Mulyo, melampiaskan kekesalannya terhadap debt collector leasing di Jombang, Jumat (16/11).
Foto: Antara
Puluhan warga Desa Candi Mulyo, melampiaskan kekesalannya terhadap debt collector leasing di Jombang, Jumat (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Transaksi melalui sistem kredit tumbuh bak jamur di musim hujan. Layanan kredit aneka produk kian gencar ditawarkan sederet perusahaan leasing. Kini, apapun ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari barang-barang kebutuhan sehari-hari hingga yang bernilai miliaran rupiah.

Kredit akhirnya telah dianggap sebagai salah satu solusi untuk menggerakkan roda perekonomian. Sistem pembayaran semacam ini juga dapat membantu warga yang berpenghasilan pas-pasan, untuk memiliki barang-barang kebutuhan dengan cara mencicil.  ''Kalau terlambat bayar, sehari kami denda Rp 25 ribu,'' ujar seorang petugas  leasing saat konsumen menandatangani kredit.

Pada kenyataannya, tak sedikit dari konsumen atau kreditur yang telat membayar uang cicilan yang telah ditetapkan setiap bulannya. Seperti telah disepakati, pihak easing bakal mengenakan sanksi, berupa  denda uang, bagi setiap konsumen yang membayar setelah jatuh tempo terlewati.

Namun, pada kenyataannya, ada perdebatan seputar denda uang keterlambatan ini terkait aspek syariat. Kalangan yang mengkritisi menilainya sama dengan riba. Ulama terkemuka dari Mesir,  Syekh Yusuf al-Qaradhawi, mengakui, hingga kini masih muncul keraguan di kalangan umat terhadap masalah ini.

Dia berpendapat penetapan denda atas keterlambatan pembayaran kredit sama dengan bunga yang diambil dari orang yang terlambat membayar utang.  Menurut ulama berpengaruh itu, sebagian ulama membolehkan mengambil denda dari seseorang yang berkredit, tapi dia terlambat menyicil angsuran, padahal  memiliki kemampuan membayar.

''Jika orang itu mengulur-ngulur waktu pembayaran, maka boleh mengambil denda darinya,'' kata Syekh al-Qardhawi.  Akan tetapi, penting dicatat, bahwa denda itu harus dianggap sebagai sedekah. Sehingga, uang denda tersebut hendaknya disedekahkan untuk membantu kaum dhuafa atau anak yatim piatu, sesuai pendapat al-Khaththab dari mazhab Maliki.

''Sedangkan orang yang terlambat membayar karena tidak mampu dan kondisi tidak memungkinkan, ia tidak didenda,'' imbuh Syekh al-Qardhawi. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT, ''Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah penangguhan sampai dia berkelapangan. Dan, menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.'' (QS al Baqarah [2] : 280)

Prinsip yang sama juga disampaikan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dalam fatwanya tertanggal 16 September 2000. Sebelumnya, Lembaga Keuangan Syariah meminta fatwa MUI terkait sanksi terhadap nasabah mampu yang kerap mengulur waktu pembayaran kreditnya.

DSN MUI pun menimbang, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 1, disebutkan secara jelas bahwa Allah SWT memerintahkan umat untuk memenuhi akad-akad yang telah dibuat. Begitu pula hadis Rasulullah SAW, ''Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah kezaliman.'' (HR Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah)

Nabi lantas membenarkan sanksi. ''Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, hal itu menghalalkan kehormatannya dan membuatnya dihukum.'' (HR Nasa'i dari Syuraid bin Suwaid)  Oleh karenanya, fatwa MUI yang ditandatangani KH MA Sahal Mahfudz menetapkan perlunya sanksi bagi nasabah mampu tapi sengaja menunda pembayaran cicilan.

''Akan halnya nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi,'' tegas fatwa bernomor 17DSN-MUIIX2000 itu.  Sanksi tersebut didasarkan pada prinsip ta'ziir, yakni bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Aadpun bentuknya bisa berupa sejumlah uang yang besarnya dtentukan atas dasar kesepakatan.

''Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial,'' demikian keputusan fatwa.  Sanksi lebih berat bahkan dimungkinkan bagi orang mampu yang tidak taat membayar hutangnya. Penulis buku al-Mulakhkhasul Fiqhi, Saleh al Fauzan, menyatakan, mereka layak dipenjara dan ta'ziir.

Hukuman itu diulang-ulang sampai ia melaksanakan kewajibannya. Jika ia bersikeras mengulur-ulurnya, ''Maka penguasa boleh turut campur dan mengambil hartanya dalam bentuk apapun, lalu menjualnya guna melunasi hutangnya.''

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement