Selasa 08 Nov 2016 22:10 WIB

CIIA: Terlalu Dangkal Jika Aksi 4 November Dianggap Upaya Kudeta

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bayu Hermawan
Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) melakukan unjuk rasa di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) melakukan unjuk rasa di Jakarta, Jumat (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan kekuatan akidah dan moral menjadi penggerak utama aksi bela Islam II pada 4 November lalu. Hal ini menjadi sebuah cerminan bahwa kesadaran politik rakyat mulai tumbuh baik.

Menurutnya ada determinasi energi keyakinan yang membuat mereka bergerak swadana dan tidak peduli dengan soal kepentingan politik pemilihan kepala daerah (Pilkada). Harits mengatakan hanya orang yang terlibat intens dalam people power tersebut ini yang mengetahui seluk-beluk gerakan aksi 4 November.

"Penilaian yang dangkal sekali jika melihat isi orasi dari video aksi 4 November ditemukan frase gulingkan Jokowi, kemudian disimpulkan target aksi 4 November adalah kudeta. Ini yang namanya oversimplikasi (terlalu menganggap sederhana) akut," ujarnya, Selasa (8/11).

Harits sendiri telah beberapa kali terlibat aksi dan sering menjadi orator. Menurutnya, terkadang seseorang dalam situasi dan kondisi aksi yang memanas bisa saja tiba-tiba mengeluarkan amunisi kata-kata yang terlintas di benak dan itu over ekspektasi dari target sebenarnya.

Gabungan dinamika massa, cuaca, suasana batin sang orator dan sikon yang menganjal langkah aksi akan membuat sang orator harus cepat menemukan frase yang bisa menjaga gelora semangat para demonstran. Ia menilai aksi 4 November bukan didesain untuk kudeta, melainkan menuntut agar Basuki Tjaha Purnama (Ahok) ditangkap karena diduga menistakan agama.

Harits menyebut umat Islam sangat elegan, sabar dan mau bernegosiasi yang melahirkan janji dua pekan (hingga18 November) dari rezim Jokowi. Aksi 4 November adalah benih kekuatan umat yang dahsyat. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib Ahok sebelum tanggal tersebut? Pemerintah sudah menjanjikan waktu dua pekan dan Ahok akan diproses secepatnya secara tegas, transparan dan mengikuti koridor hukum.

"Nalar saya sepakat kalau akhirnya Ahok menjadi tersangka. Kenapa demikian? Sebab itu adalah hasil yang elegan dan bisa membuat keseimbangan sikon politik keamanan," ujarnya.

Ia melanjutkan, toh bagi Ahok status tersangka belum pasti divonis bersalah. Dia menduga di pengadilan bisa saja Ahok bersilat lidah untuk membela diri dengan menghadirkan saksi ahli versi Ahok dan memainkan poin 'niat' pada ucapannya. Status Ahok sebagai tersangka bisa mengurangi rasa malu pemerintah yang sudah berjanji dan bisa meredam kemarahan umat islam.

Sebaliknya, apabila Ahok tidak menjadi tersangka sebelum 18 November Maka dikhawatirkan akan berpotensi memicu kesabaran umat Islam hingga mencapai titik kulminasi. Jika ini terjadi, maka Indonesia di ambang people power yang targetnya jauh lebih besar.

Umat Islam, kata Harits, tidak lagi sekadar melihat kasus Ahok sebagai terduga penista agama, tetapi sebagai 'wayang' dari kepentingan lebih besar yang dieja oleh umat Islam sebagai ancaman yang harus dilawan. Dan saat itulah perlawanan ketemu momentumnya.

Dia khawatir apabila Ahok tidak ditetapkan sebagai tersangka, atau telah ditetapkan sebagai tersangka namun dinyatakan tidak bersalah, maka bisa melahirkan sikon bahaya besar bagi negara.

"Rezim Jokowi perlu mengkaji kaidah ahwanu syaroini artinya ambilah mudarat yang lebih kecil, jangan sampai hanya karena seorang Ahok kemudian bangsa dan negara ini akan hancur," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement