REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, proses penegakan hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mulai menemukan titik terang. Status tersangka setidaknya membuktikan kemandirian Presiden dari tuduhan intervensi.
Status tersebut, kata Hafidz, juga langkah awal untuk dengan jelas membedakan antara proses hukum dengan proses pencalonan di Pilkada. Menurutnya, tak dapat dipungkiri, perhatian publik terkonsentrasi ke Jakarta karena berkelindannya antara aspek keyakinan agama, hukum dan politik lokal.
Perbedaan pandangan keagamaan menjadi perbincangan secara luas dengan mengambil Jakarta sebagai topik pembahasannya. Hal inilah yang pada akhirnya menghilangkan karakter dari masing-masing daerah Pilkada. ''100 daerah Pilkada lainnya menjadi tenggelam dan seakan terlupakan padahal sama pentingnya,'' kata Masykurudin, dalam keterangan persnya, Rabu (16/11).
Dengan kejelasan status Ahok sebagai tersangka, lanjut dia, setidaknya pembedaan antara proses penegakan hukum dengan pencalonan Pilkada dapat didudukkan kembali. Keduanya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pemanfaatan masa kampanye digunakan sebaik-baiknya dengan tetap mengawal proses hukum dan menghormati hasilnya. ''Dengan demikian, mari kembalikan Pilkada kepada sejatinya Pilkada. Sebagai wahana evaluatif terhadap kebijakan sebelumnya dan adu gagasan perbaikan daerah kedepan,'' ujarnya.
Ia menuturkan, dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, juga mengembalikan Pilkada sebagai sarana bagi pasangan calon untuk membincangkan rencana perbaikan tata kelola daerah dengan mendasarkan pada persoalan masing-masing.