REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki pada Selasa (22/11) memberhentikan hampir 15 ribu pegawai negeri, petinggi militer, polisi dan lain-lain serta menutup lebih dari 500 lembaga dan kantor pemberitaan dalam penyelidikan terkait kudeta gagal pada Juli, kata pihak berwenang dalam dua dekrit.
Lebih dari 110 ribu orang dibebastugaskan atau diberhentikan dari badan militer, pegawai negeri, pengadilan dan bidang lain, sementara 36 ribu orang ditahan dan menunggu pengadilan sebagai bagian dari penyelidikan terhadap kudeta gagal itu. Ankara menyalahkan pemuka agama yang tinggal di AS, Fethullah Gulen beserta pendukungnya.
Gulen, yang mengasingkan diri di Pennsylvania sejak 1999 menyangkal terlibat dan mengutuk kudeta itu. Sejalan dengan penyingkiran yang menyasar para tersangka pengikut Gulen, pihak berwenang telah menyingkirkan para politikus dan institusi yang mereka tuduh berkaitan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang melakukan pemberontakan terhadap Turki selama 32 tahun di bagian tenggara.
Sekitar 1.988 orang personel angkatan bersenjata Turki, 7.586 orang aparat kepolisian, 403 orang anggota khusus dan lebih dari 5.000 orang dari sejumlah institusi negara diberhentikan dalam aksi penindakan keras Selasa, atas dugaan keterlibatan mereka dengan sejumlah organisasi teroris.
Sekutu Barat mereka, terutama yang di Eropa, mengutarakan kekhawatiran terhadap gerakan Presiden Tayyip Erdogan itu, yang bahkan menuntut pembekuan pembicaraan keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Pejabat PBB menyebut gerakan itu kejam dan tidak dibenarkan.
Erdogan meyangkal kritik demikian, mengatakan Turki berniat menyingkirkan musuh di dalam dan di luar negeri, dan dapat memberlakukan kembali hukuman mati. Dia menuduh negara Barat berpihak kepada perencana kudeta tersebut dan melindungi teroris.
Keputusan itu juga mengumumkan penutupan sekitar 550 lembaga, 18 lembaga derma, dan sembilan kantor pemberitaan. Turki menutup lebih dari 130 kantor pemberitaan sejak Juli.