Selasa 22 Nov 2016 20:52 WIB

Buruh Mogok Nasional pada 2 Desember, Ini Komentar Menaker

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Ribuan buruh dari berbagai Serikat Pekerja melakukan unjuk rasa mendukung aksi mogok kerja nasional (ilustrasi).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Ribuan buruh dari berbagai Serikat Pekerja melakukan unjuk rasa mendukung aksi mogok kerja nasional (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana melakukan mogok nasional pada 2 Desember 2016, bersamaan dengan rencana aksi Bela Islam III. Menanggapi hal itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri meminta pekerja atau buruh tidak ikut demo atau melakukan mogok di perusahaan pada saat dinamika politik nasional sedang menghangat.

Dia khawatir keterlibatan buruh dalam aksi Bela Islam hanya akan memperkeruh suasana politik yang malah merugikan buruh itu sendiri. "Saya mengajak teman-teman buruh untuk fokus bekerja dan tidak usah ikut dalam politik yang sedang menghangat akhir-akhir ini. Nggak menyelesaikan masalah, malah bisa nambah keruh suasana. Dalam situasi seperti sekarang ini, semua pihak, termasuk serikat buruh, seyogyanya ikut menebarkan kesejukan, ketenangan dan kerukunan", kata Hanif dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/11),

Menurut Hanif, pemerintah tidak alergi dengan demostrasi. Unjuk rasa maupun mogok adalah hak buruh. Meski demikian, pelaksanaan mogok dan unjuk rasa buruh harus sesuai koridor aturan yang ada. Di samping itu, kata dia, perlu juga dipertimbangkan segi manfaatnya bagi buruh itu sendiri. Jangan sampai gerakan buruh justru merugikan buruh, yang justru membuat buruh malas berserikat.

"Mogok nasional itu nggak ada, yang ada adalah mogok di perusahaan. Tapi mogok sah dilakukan jika perundingan gagal. Jadi, saya minta tolong pimpinan buruh jangan mengada-ada," kata Hanif.

Ia berharap, gerakan buruh terus menguat sebagai bagian strategi perjuangan meningkatkan kesejahteraan. Salah satu indikator menguatnya gerakan buruh adalah apabila jumlah buruh yang berserikat dan jumlah serikat buruh di perusahaan bertambah.

Data Ketenagakerjaan menunjukkan, terjadi penurunan jumlah buruh yang bergabung dalam serikat. Tiga tahun lalu jumlah buruh yang berserikat mencapai 4,3 jutaan. Tahun ini turun menjadi 2,7 jutaan.

Jumlah serikat buruh di perusahaan yang semula mencapai 14 ribuan, turun menjadi 7 ribuan. Sementara pada saat yang sama, jumlah federasi dan konfederasi serikat buruh terus bertambah yang menandai tingginya polarisasi dalam gerakan buruh.

“Data tersebut cukup memprihatinkan. Ini perlu jadi perhatian bersama agar gerakan buruh makin kuat dan fokus," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement