REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivitas “cabut” sebelum jam kerja usai, sebetulnya tak hanya menjangkiti para oknum PNS. Fenomena ini juga menyerang oknum karyawan swasta.
Pemandangan bolos kerja atau meninggalkan ruangan dan urung kerja sebelum jam aktif kerja selesai menjadi persoalan yang kian dianggap sepele. Padahal, justru memiliki konsekuensi yang sangat berat.
Di negara-negara berkembang, fenomena tersebut nyaris menjelma sebagai budaya yang diakui atau tidak masih sangat mengakar. Di negara-negara Timur Tengah, misalnya. Rendahnya kedisiplinan oknum PNS ataupun karyawan swasta di Mesir, sebagai contoh mendapat perhatian serius Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) negara berjuluk Seribu Menara itu.
Menurut lembaga tersebut, Islam menegaskan bahwa pekerjaan adalah salah satu bentuk amanat yang wajib ditunaikan oleh si penanggung jawab. Jika amanat yang dimaksud tak ditunaikan maka ia dinyatakan telah berkhianat.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS an- Nisaa’ [4]: 58). Penegasan tentang pen tingnya menunaikan amanat ini juga tertuang di ayat 8 surah al- Mu’minuun. “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”
Sebuah hadis juga menguatkan status pekerjaan itu sebagai bentuk tanggung jawab. Rasulullah SAW menyatakan bahwa tiap-tiap manusia adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas tugasnya. Dengan demikian, seorang pegawai negeri ataupun swasta bertanggung jawab atas kewajib an yang ia emban. Sebab, tugasnya tersebut akan dipertanyakan kelak di akhirat.
Atas dasar inilah, bolos kerja dengan sengaja dan tanpa alasan yang kuat merupakan bentuk peng khianatan terhadap pekerjaan itu. Termasuk, beranjak meninggalkan pe kerjaan sebelum jadwal resmi yang ditetapkan. Kecuali, jika alasan meninggalkan pekerjaan sebelum jam resmi berakhir ialah perintah da ri atasan. Apabila tidak maka aktivitas ilegal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Keten tuan ini berlaku permanen. Baik saat Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.
Sepakat dengan pendapat itu, sejumlah lembaga fatwa resmi negara- negara Timur Tengah mengadopsi fatwa yang dikeluarkan oleh Dar al-Ifta. Misalnya, Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab, Lembaga Fatwa Kuwait, dan Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi.
Lembaga fatwa yang terakhir ini menambahkan, tidak diperbolehkan pula memanipulasi data kehadiran. Misalnya, bila yang bersangkutan hanya hadir empat hari dalam sepekan. Sementara, ia menambahkan satu hari, baik dengan membuat lapor an palsu atau mendelegasikan absensi. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS al-Maidah [5]: 1).
Selain itu, lembaga ini juga mengingatkan agar para bawahan tidak terpengaruh dengan sikap lalai atasan. Jika menyaksikan atasan yang mengabaikan kedisiplinan itu, hendaknya jangan ditiru. Semestinya, justru atasan yang tak memberikan contoh baik itu dinasihati dengan cara yang bijak.
Seorang karyawan, sesuai dengan hukum Islam, adalah objek sewaan ajir’ dengan ketentuan-ketentuan khusus, antara lain, tenggat yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Syarat tersebut wajib dipenuhi oleh pihak ajir’, dalam hal ini ialah karyawan swasta ataupun negeri. Sebuah hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa orang Islam wajib memenuhi syarat yang diberlakukan atas mereka, selama syarat itu berada dalam koridor syariat.