REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moch Hisyam
Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khaththab RA kedatangan tamu dari Azerbaijan. Tamu tersebut adalah utusan dari wali kota Azerbaijan. Tepat waktu menjelang fajar, Umar RA mengajak sang tamu singgah ke rumahnya. Pada saat itu, Umar berkata kepada istrinya, "Wahai Ummu Kultsum, suguhkan makanan yang ada. Kita kedatangan tamu jauh dari Azerbaijan."
Mendengar perintah suami, jawaban jujur keluar dari mulut istri Umar RA. "Kita tidak mempunyai makanan, kecuali roti dan garam," jawab istri Umar. "Tidak mengapa," kata Umar. Akhirnya mereka berdua makan roti dan garam.
Sang tamu pun menyampaikan alasannya mendatangi Umar. "Wali kota Azerbaijan menyuruhku menyampaikan hadiah ini untuk Amirul Mukminin," kata utusan Azerbaijan seusai makan, sembari menunjukkan sebuah bungkusan. "Bukalah bungkusan itu dan lihat apa isinya!" perintah Amirul Mukminin.
Setelah dibuka, bungkusan itu ternyata berisi gula-gula, "Ini adalah gula-gula khusus buatan Azerbaijan," sang tamu menjelaskan. "Apakah semua kaum Muslimin (rakyat) di sana juga mendapatkan kiriman gula-gula ini?" kata Umar. Dan langsung sang utusan menjawab, "Oh tidak! gula-gula ini khusus untuk Amirul Mukminin."
Mendengar jawaban itu, wajah Umar tampak kelihatan marah. Segera ia memerintahkan utusan Azerbaijan itu untuk membawa gula-gula tersebut ke masjid dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin. "Barang ini haram masuk ke dalam perutku, kecuali jika kaum Muslimin memakannya juga," kata Umar.
"Dan engkau cepatlah kembali ke Azerbaijan. Sampaikan kepada yang mengutusmu (wali kota Azerbaijan) bahwa jika ia mengulangi peristiwa ini kembali, aku akan memecat dia dari jabatannya!"
Kisah di atas menggambarkan betapa sederhananya Umar RA, sekaligus menunjukkan kepada kita betapa Amirul Mukminin sangat menjaga perasaan rakyatnya. Bagaimana ia bisa menikmati sendirian hadiah dari wali kota Azerbaijan, sementara rakyat yang dipimpinnya tidak mendapatkan bagian?
Menjaga perasaan rakyat merupakan bagian penting yang harus dilakukan seorang pemimpin. Apalagi, jika kepemimpinan yang diraihnya itu atas pilihan rakyat dan mendapatkan gaji dari uang rakyat. Maka ia harus benar-benar menjaga perasaan rakyatnya.
Ketika seorang pemimpin mampu menjaga perasaan rakyatnya maka akan banyak hal positif tercipta di tengah masyarakat. Di antaranya, terwujudnya kedamaian, terbinanya persatuan rakyat, dan kemakmuran yang akan dirasakan oleh semua rakyatnya.
Wujud dari pemimpin yang menjaga perasaan rakyatnya terlihat dari kesederhanaan, keadilan, dan sikapnya yang apresiatif terhadap keinginan rakyatnya. Karena, tidak mungkin seseorang pemimpin yang menjaga perasaan rakyatnya hidup mewah sementara rakyatnya miskin, bersikap zalim, dan tidak mengacuhkan aspirasi dari rakyatnya.
Semoga para pemimpin bangsa ini memiliki kepekaan dan mampu menjaga perasaan rakyatnya. Sehingga, potensi perpecahan dan kegaduhan yang mengancam bangsa ini bisa diredam dan diatasi dengan keadilan dan sikap gigih dalam memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Amin. Wallahu a'lam.