REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Tim Pemenangan yang juga juru bicara Sahabat Anies-Sandi Anggawira mengatakan menggunakan jejaring sosial termasuk kebebasan berekspresi sehingga tidak seharusnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melarang menggunakannya untuk berkampanye.
"Masyarakat memiliki hak kebebasan berpendapat dan mendukung pasangan yang dipilih. Pernyataan Bawaslu tidak sejalan dengan kebebasan berekspresi," kata Anggawira melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Selasa (6/12).
Alih-alih melarang penggunaan jejaring sosial, Angga berpendapat seharusnya Bawaslu mengambil tindakan untuk mengatur "buzzer-buzzer" yang membuat akun anonim di media sosial dan menyalahgunakan kebebasan berpendapat di jejaring sosial.
Menurut Angga, akun-akun anonim para "buzzer" itu dibuat dengan tujuan memprovokasi dan menjatuhkan salah satu pihak. Akun-akun anonim itu yang perlu diatur dan dikendalikan, jangan malah merugikan masyarakat yang tidak terlibat dalam kampanye hitam.
"Bukan malah mengekang kebebasan masyarakat dalam bersuara. Selama akun tersebut adalah formal dimiliki masyarakat secara pribadi, mereka memiliki hak untuk berpendapat," tuturnya.
Angga menyarankan Bawaslu agar lebih peka terhadap perkembangan teknologi. Dalam konteks kampanye, media sosial sangat efektif untuk menyampaikan program kerja, ide dan gagasan setiap calon kepada masyarakat luas.
"Masyarakat sekarang memang cenderung lebih percaya pada isi di media sosial daripada spanduk-spanduk atau poster yang dipasang di jalan. Kita bisa mengambil contoh kecil bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi populer dimasyarakat luas karena sering diperbincangkan oleh netizen di jejaring sosial," katanya.
Sebelumnya, Komisioner Divisi Bidang Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu Muhammad Jufri sempat menyatakan akun-akun media sosial yang digunakan untuk berkampanye harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain tim kampanye, masyarakat dilarang menggunakan media sosial untuk berkampanye. Bahkan, Bawaslu menyatakan akan menelusuri akun-akun di media sosial yang diduga melakukan kampanye tanpa izin dengan ancaman pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.