REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penggunaan atribut keagamaan non-Muslim dinilai akan membawa perbedaan dalam perayaan Natal tahun ini. Menurutnya, ada kemungkinan pegawai beragama Islam akan menolak permintaan pihak perusahaan untuk menggunakan atribut Natal seperti misalnya topi Sinterklas atau bando tanduk rusa.
"Bisa jadi menolak. Kalau begini mungkin saja pemakaian atribut itu hanya ke pegawai non-Muslim, bisa saja," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani kepada Republika.co.id, Kamis (15/12).
Namun menurut dia, adanya fatwa tersebut membuat perayaan Natal tidak semarak. Sebagian perusahaan memang memiliki target pasar orang-orang asing yang beragama non-Muslim. Menurut Haryadi, topi Sinterklas dan bando tanduk rusa bukanlah atribut keagamaan. Berbeda dengan kalung salib yang identik dengan agama Katolik, ataupun jubah biksu yang identik dengan agama Buddha.
Dia mengatakan penggunaan atribut tersebut bersifat musiman dan tidak dilakukan setiap hari. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ini mengatakan penggunaan atribut tersebut terkadang mendatangkan keuntungan bagi pegawai hotel. Penggunaan atribut tersebut bisa membuat tamu yang sedang merayakan hari besar itu merasa dihargai.
"Ini hospitality. Kala bisa akrab dengan tamu maka akan mendapat tips makin besar. Tidak perlu sejauh itu (pengaturan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim). Kan tidak menganggu," kata dia.
Ditambah lagi menurut dia, tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang tidak diukur dari penggunaan atribut tertentu. Haryadi menyebut berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, tidak ada pegawai yang menolak menggunakan atribut tersebut. Namun ia belum tahu pasti apakah tahun ini akan sama atau tidak. "Kalau perusahaan Muslim dan konsumennya Muslim tidak perlu pakai itu. Tapi kalau konsumennya banyak yang non-Muslim ya ini sebagai hospitality. Tahun-tahun lalu pegawai di hotel tidak menolak," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 56 Tahun 2016, tentang menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram. Atribut keagamaan yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
MUI juga memberikan rekomendasi kepada pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim.