REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Tradisi sastra lisan atau sastra tutur yang ada di Provinsi Sumatera Selatan terancam punah, karena kurangnya minat pemuda dalam memelihara kebudayaan daerah tersebut, kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumsel, Aminullatif.
"Kalau dilihat sekarang, 85 persen pelaku sastra lisan di Sumatera Selatan berumur di atas 60 tahun, sedangkan generasi muda yang menggeluti sastra lisan masih bisa dihitung dengan jari," kata Aminullatif pada penutupan Pagelaran Sastra Lisan provinsi setempat tahun 2016 di Palembang, Jumat (16/12).
Ia menjelaskan, fakta tersebut merupakan suatu ancaman untuk balai bahasa dan para seniman pelaku sastra lisan akan keberlanjutan kebudayaan yang semakin jarang ditampilkan ke hadapan masyarakat umum.
Sementara salah satu pemuda pelaku sastra lisan asal Baturaja, Redo Saputra (25), mengatakan penyebab terancam punahnya sastra lisan karena ada warisan tradisi yang terputus akibat berkurangnya jumlah pelaku sastra lisan dan minimnya minat generasi muda mempelajari sastra tersebut.
Ia mencontohkan, nama-nama sastra lisan seperti Rendai, Berejung, Cerite Panjang, andai-andai, dan tebangan besak (bedikin) merupakan sastra lisan yang hanya dikenal masyarakat, padahal masih banyak sastra lisan lain.
Dia menambahkan, salah satu solusi untuk menarik minat pemuda dalam meneruskan tradisi sastra lisan adalah lewat film dan sosial media.
"Agar pemuda berminat maka perlu konsep baru untuk memperkenalkan sastra lisan kepada mereka, yakni dengan menggunakan teknologi informasi berupa sosial media, film atau yang lainnya agar bisa mengikuti perkembangan zaman, tetapi tetap mempertahankan esensi dan bentuk kebudayaan sastra lisan itu sendiri," kata Redo.
Sementara, berdasarkan data yang diperoleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan, ada 236 jenis sastra lisan di provinsi tersebut yang berhasil didokumentasikan, sementara sastra lisan lain masih dalam penelitian.