REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajaran Rasululullah SAW tentang pentingnya menghomati para utusan atau diplomat yang datang dari luar wilayah Islam, juga dilanjutkan para penguasa Muslim sesudah Rasulullah SAW wafat.
Dr Arif Khalil Abu 'Id dalam buku al-Alaqat al-Kharijiah fi Daulah al-Khilafah mengungkapkan, selama berada di wilayah Kekhalifahan Islam, para diplomat memperoleh berbagai hak istimewa, seperti pemeliharaan keselamatan diri, keluarga, dan tempat tinggal secara optimal.
Konsep kekebalan diplomatik modern yang berlaku saat ini sebenarnya sudah lebih dulu mendapat dukungan yang kuat dalam sejarah Islam.
Sejumlah ahli hukum Islam yang hidup pada abad pertengahan bahkan berpendapat, perlindungan yang diberikan kepada para diplomat menjadi sebuah keharusan berdasarkan kemaslahatan dan perintah Nabi Muhammad SAW.
Penulis asal Pakistan, Azhar Niaz menuturkan, praktik mengirim dan menerima utusan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya terus berlangsung hingga periode Bani Umayyah (661–750). Namun, hubungan diplomatik dunia Islam menjadi lebih signifikan sejak periode Abbasiyah (749–1258).
“Bahkan, pada masa Dinasti Fatimiyah (909–1171) dan Mamluk (1254–1517), praktik diplomatik semakin meningkat dengan dikirimkannya sejumlah utusan Muslim ke Eropa, Asia Tengah, dan Asia Timur,” ujar Niaz dalam karya tulisnya, Diplomatic Immunity.
Ketika dinasti-dinasti Muslim berkuasa, setiap utusan asing yang dikirim ke wilayah Islam mendapat jaminan keamanan dari negara. Tak hanya itu, mereka juga dibebaskan dari pajak selama mereka tidak terlibat dalam kegiatan perdagangan. Mengganggu, apalagi sampai membunuh seorang diplomat, adalah perbuatan yang dikutuk dalam Islam.