REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan warga Bukit Duri terkait sejumlah surat peringatan (SP) penggusuran yang dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan pada akhir Agustus 2016. Putusan tersebut dibacakan majelis hakim PTUN Jakarta, Kamis (5/1) kemarin.
Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wheni Soemarwi mengatakan, putusan pengadilan itu semakin menegaskan pelanggaran hukum yang diperbuat Pemprov DKI Jakarta ketika menggusur paksa ratusan warga Bukit Duri, beberapa bulan lalu.
"Putusan majelis PTUN ini menjadi bukti bahwa penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI dan Pemda Jakarta Selatan adalah tindakan yang sewenang-wenang, melanggar hukum, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)," ujarnya melalui pesan yang diterima Republika.co.id, Jumat (6/1).
Vera menuturkan, Pemprov DKI sebelumnya menggusur paksa warga Bukit Duri dengan dalih ingin menormalisasi Sungai Ciliwung. Padahal, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 163/2012 juncto Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 2181/2014 yang dijadikan sebagai dasar hukum kebijakan normalisasi sungai itu telah habis masa berlakunya sejak 5 Oktober 2015.
Namun faktanya, pemerintah pusat dan Basuki T Purnama (Ahok) selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu tetap ngotot dengan segala upayanya untuk tetap melaksanakan normalisasi Sungai Ciliwung.
"Mereka (pemerintah pusat dan Ahok) telah melakukan tindakan yang tidak professional, tidak transparan, tidak partisipatif, tidak akuntabel, dan melawan hukum dengan menggusur warga secara paksa," katanya.
Vera melanjutkan, puncak pelanggaran Pemprov DKI terjadi pada 29 September hingga 3 Oktober 2016. Pada kurun waktu itu, Pemprov DKI merampas hak-hak warga Bukit Duri dan menggusur mereka secara membabi buta. Pemprov DKI telah menghancurkan rumah-rumah dan mengambil paksa tanah warga Bukit Duri.
Sebelum penggusuran, kata Vera, pemerintah telah melancarkan serangkaian teror, intimidasi, dan stigmatisasi bahwa warga Bukit Duri adalah warga liar yang menduduki tanah negara, penyebab banjir, dan masih banyak lagi sederetan cap negatif yang dialamatkan kepada mereka.
Tak cukup sampai di situ, rangkaian teror Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan dan gubernur DKI yang saat itu dijabat Ahok diikuti kebijakan mereka menggusur rumah-rumah dan tanah warga Bukit Duri dengan menerbitkan sejumlah SP.
SP1 bernomor 1779/-1.758.2 terbit pada 30 Agustus 2016, selanjutnya disusul SP2 bernomor 1837/-1.758.2 pada 7 September 2016, dan SP3 bernomor 1916/-1.758.2 pada 20 September 2016.
Ketiga SP itu diterbitkan Satpol PP Jakarta Selatan dengan alasan warga Bukit Duri telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum). Mendapat SP tersebut, warga Bukit Duri pun protes. Mereka lalu menggugat penerbitan SP itu ke PTUN Jakarta.
"Warga menggugat ke PTUN karena kebanyakan dari mereka telah tinggal di Bukit Duri sejak sebelum Indonesia merdeka," ungkap Vera.
Warga Bukit Duri, kata dia, sudah membangun rumah di pinggir Sungai Ciliwung sejak 1920-an. Fakta itu diperkuat dengan sejumlah dokumen tanah yang mereka miliki, seperti surat-surat verponding, SPPT, akta jual-beli, dan surat-surat lain yang menunjukkan bahwa mereka menempati tanah itu secara legal.
Dalam putusan PTUN yang dibacakan kemarin, majelis hakim pun mengakui kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri. Dalam pertimbangan hukum majelis hakim, dikatakan bahwa tanah-tanah yang digunakan oleh pemerintah pusat dan Pemprov DKI untuk normalisasi Ciliwung adalah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun temurun.
"Majelis hakim PTUN juga mengakui kepemilikan tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU No 2/2012 jucnto Perpres No 71/2012," tutur Vera.