REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membongkar kuburan? Bagi masyarakat pedesaan pada umumnya masih sangat tabu karenanya dianggap sakral. Kasus pembongkaran ulang kuburan di daerah-daerah bisa dihitung jari, malahan nyaris sulit ditemukan. Tetapi, lain ceritanya jika di wilayah perkotaan. Bongkar-membongkar kuburan tampaknya tak lagi canggung dan sudah biasa.
Alasan pembongkaran pun bisa beragam, mulai dari penggusuran tanah pemakaman ataupun untuk kepentingan otopsi guna penyelidikan kasus-kasus tertentu. Apa pun dalihnya, fenomena pembongkaran makam pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Hal ini terlihat dari munculnya bermacam reaksi pendapat menyikapi hal itu. Mulai dari yang memperbolehkan dengan syarat ataupun melarangnya mutlak.
Dalam Kitab A- Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Khamsah karangan Muhammad Jawwad Mughniyyah disebutkan, semua ulama mazhab sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik mayat tersebut masih anak kecil ataupun orang dewasa, gila maupun berakal, kecuali untuk mengetahui ada tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian ulang itu bertujuan untuk kemaslahatan mayat. Misalnya, dalam kasus ketika lokasi kuburan berada di tempat mengalirnya air atau di tepi sungai atau dipendam di tempat yang haram, seperti lokasi pemakaman hasil penggelapan tanah.
Dalam Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI dijelaskan bahwasanya hukum memindahkan jenazah diperbolehkan jika memang sekiranya ada pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud tersebut tentunya ialah perkara yang diperbolehkan dalam syariat. Hal ini mengingat hukum memindahkan jenazah yang telah dimakamkan menurut sebagian besar ulama ialah diharamkan.
Adapun pendapat Imam Malik menyatakan bahwa pemindahan jenazah yang telah dimakamkan diperbolehkan dengan alasan kemaslahatan, di antaranya, untuk memudahkan ziarah atau dimakamkan di tengah makam keluarga. MUI Juga pernah mengeluarkan fatwa bahwasanya penyelidikan ilmiah terhadap mayat, tidak dilarang oleh Islam, atau dengan kata lain diperbolehkan.
Terkait hukum menggali kembali kubur, Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengeluarkan hasil kajian hukum. Dalam Kumpulan Keputusan Hasil Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) 1924-2004, ditegaskan bahwa diharamkan menggali kubur sebelum mayat di dalamnya hancur sesuai dengan pendapat para pakar di daerah tersebut setelah mayat itu dikubur.
Sesuai dengan redaksi yang tertera dan dinukil dari Kitab al-Umm, karya Imam As Syafi'i, diterangkan jika mayat sudah dikubur, maka tidak seorang pun boleh menggali kembali kuburannya sampai berlalu suatu masa yang menurut pakar daerah tersebut mayat itu telah hilang atau hancur. Dan, ukuran berapa lamakah mayat dinyatakan hancur tersebut berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, biasanya bisa setahun atau lebih.
Kepentingan menggali kubur itu salah satunya ialah menanam jenazah yang baru di lubang yang sama. Pada dasarnya, hukum menggali kubur yang telah lama, apbila telah ada tanda-tanda yang kuat, bahwa mayat itu sudah hancur, maka hukumnya boleh (jaiz), kemudian kalau menemukan tulang-tulang sebelum penggalian sempurna, maka harus pindah, tetapi kalu menemukan tulang-tulang itu setelah penggalian sempurna maka tidak wajib pindah. Dan, boleh menanam mayat baru dan semua tulang-tulang yang ditemukan, supaya ditanam kembali.
Soal hukum menanam dua jenazah atau lebih dalam satu lubang juga dihukumi boleh menurut Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam Buku Kumpulan Fatwa-Fatwa Tarjih dijelaskan, pada prinsipnya kalau ada seseorang meninggal dunia lazimnya dikubur dalam satu kuburan. Tetapi, tidak ada larangan dalam keadaan yang sangat memerlukan untuk mengubur beberapa orang dalam satu keburuan, seperti yang terjadi pada waktu perang Uhud. Penguburan jenazah kala itu tidak hanya satu, tetapi ada yang dua atau tiga dalam satu liang lahat.
Muncul kembali pertanyaan, apa hukum memindahkan kompleks pemakaman? Masih mengutip Kumpulan Keputusan Hasil Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU), dijabarkan bahwa pemindahan kompleks makam dan makam individu, hukumnya tafshil, atau terperinci. Dalam pandangan ulama bermazhab Hanafi, hukumnya boleh.
Menurut Mazhab Syafi'i, haram hukumnya membongkar kembali mayat setelah dikuburkan sebelum mayat tersebut diyakini hancur sesuai dengan pendapat para pakar tentang tanahnya, untuk dipindahkan ataupun lainnya, kecuali karena darurat seperti dikuburkan tanpa disucikan, baik dimandikan atau tayamum. Sementara, mayat tersebut merupakan orang yang wajib disucikan.
Sedangkan Madzhab Maliki memperbolehkan memindahkan mayat sebelum dan sesudah dikubur dari satu tempat ke lokasi lain dengan syarat, yaitu tidak terjadi perusakan pada tubuh mayat, tidak menurunkan martabat mayat, dan pemindahan tersebut atas dasar maslahat.