REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina adalah salah satu kawasan dengan peradaban tertua di dunia. Pada zaman Rasulullah SAW Cina dikenal dengan nama Kerajaan Tengah. Di antara bukti usia Islam di negeri berjuluk Tirai Bambu ini cukup tua adalah keberadaan Masjid Agung Guangzhou.
Dalam artikelnya yang berjudul Jewel of Chinese Muslim's Heritage (2005), Mohammed Khamouch menyebutkan keistimewaan kompleks Masjid Agung Guangzhou yang berusia lebih dari 1.300 tahun. Artinya, itu merupakan masjid tertua di seantero Cina.
Bangunan yang berjuluk Masjid Huaisheng ini merupakan salah satu bukti penyebaran Islam paling mula di luar Jazirah Arab. Nama Huaisheng berarti mengenang sang guru (Nabi Muhammad SAW).
Masjid ini juga dinamakan Masjid Guangta yang berarti masjid menara suar. Sebab, di bagian selatan kompleks ini terdapat sebuah menara setinggi 36 meter yang diduga lebih tua daripada bangunan utama masjid ini.
Pada zaman dahulu menara abu-abu berbentuk silinder ini berfungsi tidak hanya sebagai tempat mengumandangkan azan, tapi juga menara penerang yang menuntun perahu-perahu pelintas Sungai Zhu Jiang (harfiah: Sungai mutiara).
Sungai tersebut mengalir di selatan kompleks ini dan bermuara di Laut Cina Selatan, tepatnya di pelabuhan dagang sekitar Hong Kong modern.
Dari segi arsitektur, Masjid Agung Guangzhou menunjukkan keunikan karena mengalami perpaduan gaya arsitektur antara Cina tradisional dan Islam. Satu hal yang membedakannya adalah seluruh bangunan ini bebas dari ornamen-ornamen yang menggambarkan makhluk bernyawa.
Di dalam kompleks ini, ada enam bangunan utama. Di antaranya, menara Guangta, pelataran imam, ruang koleksi mushaf-mushad klasik, koridor, paviliun tugu peringatan. Kaligrafi yang memadukan gaya Arab-Cina terpampang indah di muka ruang shalat. Tulisan besar Laa ilaaha illa Allah tergurat begitu indahnya.
Seperti bangunan Cina tradisional pada umumnya, bagian gerbang masjid ini berbentuk lengkung. Pada gerbang utama yang terletak di selatan-sebagaimana tradisi bangunan Cina-ada atap dua tingkat yang berbentuk melengkung. Ini diketahui dibangun pada abad ke-17 dan bercorak khas arsitektur Cina.
Di sanalah terletak Paviliun Rembulan yang mengantar pengunjung melewati halaman yang asri menuju ruang utama masjid. Tembok yang melingkari kompleks ini terdapat kajang berwarna hijau di atasnya.
Ketika pengunjung memasuki halaman, ada gerbang lain dengan lempengan merah yang bertuliskan empat aksara Cina yang terjemahannya, (Islam) agama yang berakar dari ajaran sejati dibawa dari Kawasan Barat.
Memasuki halaman melalui gerbang lengkung Paviliun Rembulan, pengunjung mulai merasakan aura ketenangan, keindahan spasial, dan atmosfer yang sunyi. Terasa begitu kontras dengan hiruk-pikuk di luar. Harum bunga juga terpancar dari kebun yang ada di sekitar masjid. Untuk mencapai kompleks masjid ini, pengunjung dapat berjalan kaki dari stasiun kereta bawah tanah Ximenkou, Guangzhou.
Renovasi Masjid ini mengalami beberapa kali renovasi. Pada 1350 Masjid Agung Guangzhou diperbaiki di masa Dinasti Yuan di bawah kekuasaan Raja Zhizhen. Perbaikan selanjutnya terjadi pada masa Dinasti Qing (1644-1911) di bawah kekuasaan Raja Kangzi.
Pada 1695 sebagian bangunan masjid ini sempat mengalami kebakaran, tapi sempat dipulihkan. Pada 1935 atau sekitar satu dasawarsa setelah dimulainya modernisasi Kota Guangzhou, ruang shalat masjid ini direnovasi total dengan fondasi beton bertulang. Secara keseluruhan, kompleks masjid ini dapat menampung hingga seribu orang jamaah. Luasnya mencakup 2.966 meter persegi.