Rabu 18 Jan 2017 21:28 WIB

Ini Usulan KPK untuk Paket Reformasi Hukum II

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Indira Rezkisari
Pimpinan KPK Laode M Syarif
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pimpinan KPK Laode M Syarif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menuturkan paket reformasi hukum kedua harus juga mampu menyelesaikan persoalan banyaknya produk hukum yang saling tumpang-tindih. Sebab, dia mengakui saat ini banyak peraturan perundang-undangan yang masih saling tumpang-tindih.

"Soal tumpang-tindih peraturan hukum itu harus diselesaikan dengan baik karena banyak sekali peraturan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih, sehingga menyusahkan untuk penegakan hukum maupun menjalankan undang-undang tersebut," kata dia, Rabu (18/1).

Laode juga mengatakan, paket reformasi hukum tersebut juga harus sekaligus memperkuat KPK dengan membuat beberapa aturan perundang-undangan terkait penegakan hukum pada tindak pidana korupsi. Sebab, diakui dia, di dalam Undang-undang tipikor sekarang, masih ada hal yang belum diatur.

Misalnya, terkait pengaturan soal korupsi yang terjadi di lembaga swasta. Saat ini, UU tipikor tersebut belum mengatur jika terjadi tindak pidana korupsi di lembaga atau perusahaan swasta. "(Perlu) Diatur dalam undang-undang yang baru, karena di undang-undang tipikor yang sekarang tidak ada pengaturan tentang korupsi di sektor swasta," tutur dia.

Selain itu, Laode juga menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perampasan aset yang sekarang masih di DPR itu harus segera dirampungkan. Dia berharap pemerintah juga dapat segera ikut merampungkan RUU tersebut. "Kita minta pemerintah untuk segera melakukan itu," ujar dia.

RUU lain yang juga perlu diselesaikan, lanjut Laode, yakni soal pembatasan transaksi tunai. RUU ini jika disahkan akan berperan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Selama ini, tindakan korupsi selalu dilakukan secara tunai agar tidak kena lacakan. Karena itu, perlu ada batasan berapa besaran dana yang bisa ditransaksikan secara tunai.  

"Kan korupsi semuanya bayar tunai. Itu gara-gara tidak dibatasi transaksi tunainya. Orang bawa-bawa saja, engga mau pakai bank, karena takut dicatat oleh PPATK. Jadi tunai semua," tutur dia.

Pengaturan pembatasan transaksi tunai, menurut Laode, sebetulnya juga bisa diatur melalui peraturan Bank Indonesia. Yang penting, kata dia, ada aturan tentang pembatasan transaksi tunai itu. Ini tidak hanya berlaku bagi pejabat, tapi juga seluruh warga Indonesia.

"Enggak boleh orang itu bawa-bawa cash. Bukan hanya untuk pejabat, tapi juga untuk seluruh orang Indonesia. Jadi transaksi tunai itu ada batasnya. Harus ada," ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement