Jumat 17 Feb 2017 16:40 WIB

Pertemuan Rasulullah dengan Rahib Bahirah di Suriah

Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seolah tak berujung, begitulah konflik di Suriah berlangsung. Perseteruan meluas dengan melibatkan berbagai negara dan kepentingan. Dampaknya jelas, korban jiwa berjatuhan. Belum lagi, urusan pengungsi.

Jika ditelusuri jejak masa lalu, Suriah menjadi negara penting dalam perkembangan Islam. Suriah merupakan negeri pertama yang dibuka kaum Muslimin. Juga, menjadi  negeri pertama yang menerima Islam di luar Haramain Saudi.

Selain itu, Suriah menjadi pusat pemerintahan Islam setelah Madinah. Suriah dikenal pula sebagai sang juru damai.

Pembukaan Islam di Suriah terjadi di sekitar 630-an Masehi. Namun sebenarnya, Rasulullah sudah beberapa kali berkunjung ke Suriah, bahkan sebelum diangkat Allah sebagai seorang Rasul. Suriah merupakan negeri perdagangan yang acap kali dikunjungi para pedagang Arab, termasuk Rasulullah.

Syam atau Bilad As-Syam, demikian nama negeri yang ramai menjadi perdagangan Arab tersebut. Suriah merupakan satu bagian dari Negeri Syam, selain Lebanon, Palestina, dan Yordania.

Nama Syam sendiri disebut-sebut mengacu pada salah satu nama putra Nuh yang selamat dari musibah banjir, Sam. Banyak nabi lahir di negeri ini. Dari Syam pula lahir bangsa Semit yang melahirkan agama Ibrahimiyyah, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tak seperti negeri Arab lain yang dikelilingi gurun pasir, tanah Syam jauh lebih subur dan banyak meninggalkan peradaban manusia.

Kontak pertama nabi dengan Syam terjadi saat Rasulullah masih berusia remaja. Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry dalam Sirah Nabawiyyah menyebutkan, saat itu usia Nabi baru sekitar 12 tahun.  Dia turut serta dalam perjalanan dagang pamannya, Abu Thalib.

Pada perjalanan inilah terjadi sebuah pertemuan Nabi dengan rahib Nasrani yang mengenalinya sebagai bakal utusan Allah terakhir. Kisah pertemuan tersebut sangat terkenal, mengingat inilah kali pertama orang lain melihat sisi kenabian Muhammad meski dia baru diutus hampir 30 tahun setelahnya.

Pertemuan dengan pembesar Nasrani, Bahirah Ar-Rahib, terjadi ketika kafilah dagang Abu Thalib tiba di dekat Kota Bushra, pinggiran Syam. Bahirah menyusup di antara kerumunan pedagang, kemudian memegang tangan Nabi.

“Anak ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini adalah utusan Rabb semesta alam. Ia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam,” ujarnya.

Melihat tingkah Bahirah, orang-orang pun bertanya, apa gerangan tanda yang dimiliki Muhammad sehingga Bahirah mampu menebak kenabiannya. Maka, Bahirah menjawab, “Sebenarnya, ketika kalian mendaki bukit, tidaklah tersisa bebatuan ataupun pepohonan, kecuali mereka tunduk sujud, dan tidaklah mereka sujud melainkan kepada seorang nabi. Sungguh, aku mengetahuinya dari tanda (cap) kenabian yang ada di bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel dan kami menjumpai keterangan itu di kitab-kitab kami,” kata Bahirah.

Melihat tanda kenabian luar biasa, Bahirah pun meminta Abu Thalib tak membawa Rasulullah masuk ke negeri Syam. Dia khawatir Nabi diganggu orang Yahudi dan Romawi. Maka, Abu Thalib pun mengembalikan Nabi ke Makkah.

Itulah kali pertama Rasulullah melakukan perjalanan ke negeri Syam. Ketika dewasa dan menjadi pedagang, Rasulullah kembali ke Syam untuk menjual barang-barang yang dimodali oleh wanita Quraisy yang kemudian menjadi istrinya, Khadijah binti Khuwailid.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement