REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Polres Metro Bekasi menemukan dugaan tindak pidana dalam kasus ambruknya atap dua ruang kelas SMA N 1 Muaragembong, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. 19 saksi sudah diperiksa oleh pihak kepolisian.
Dua ruang kelas yang digunakan oleh siswa kelas X IPS 4 dan X IPS 3 SMA N Muaragembong ambruk pada 28 Februari 2017 sekitar pukul 08.00 WIB. Sesaat terdengar suara gemuruh dan gaduh, diikuti robohnya atap kelas menimpa puluhan siswa yang sedang belajar di dalam kelas. Tidak ada hujan atau angin kencang saat kejadian.
Sebagian besar siswa berhasil lari keluar menyelamatkan diri, namun 27 siswa di antaranya mengalami luka ringan. Para siswa langsung dilarikan ke puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan. Sebagian mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Polisi sudah memeriksa 19 orang saksi dalam kasus ini, baik dari pihak komite sekolah maupun siswa yang menjadi korban.
"Sampai hari ini sudah ada 19 saksi yang kami periksa, 7 di antaranya adalah para guru yang bertanggung jawab di sini, termasuk kepala sekolah dan pekerja yang membangun bangunan ini, serta 12 siswa yang menjadi saksi saat peristiwa ini terjadi," kata Kapolres Metro Bekasi, Kombes Pol Asep Adisaputra, Selasa (7/3) sore.
Asep menyatakan, hasil pemeriksaan terhadap 19 orang saksi tersebut mengarah pada tindak pidana yang mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi. Namun, polisi belum menetapkan adanya tersangka dalam kasus ini. Proses penyelidikan masih dilakukan oleh Satreskrim Polres Metro Bekasi.
Lanjut Asep, Polres Metro Bekasi juga meminta bantuan secara teknis kepada ahli bangunan konstruksi yang independen dan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. Hingga kini, polisi masih menunggu hasil penyelidikan Puslabfor Mabes Polri terkait penyebab kejadian ini.
Tujuh saksi dari pihak sekolah yang sudah diperiksa, antara lain kepala sekolah SMA N 1 Muaragembong Adar Mahdar, ketua panitia program selaku guru Hengki Ari Kurniawan, bendahara sekolah Marganda Sitohang, anggota komite sekolah Darun Darmadi, wakil ketua komite dan pelaksana lapangan Maman Saumin, pemborong konstruksi atap baja ringan Nipan, dan pekerja konstruksi Budi Santoso.
Hasil keterangan dari tujuh orang saksi tersebut diperoleh keterangan adanya dugaan unsur tindak pidana sehingga mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi yang dapat menyebabkan kerugian harta benda atau keselamatan orang lain, sesuai pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 huruf a UU RI No 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung dan pasal 360 ayat 1 dan 2 KUHP.
"Hasil penyelidikan kami, ada sebuah dugaan dalam perencanaan pembangunan ini yang perlu didalami dari berbagai aspek, termasuk dalam hal perencanaannya. Ada bagian-bagian yang sudah menjadi critical point dari para ahli untuk melakukan pendalaman mengapa ini bisa terjadi," ujar Asep.
Hingga kini, belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Kepolisian masih dalam proses penyelidikan untuk mendalami unsur-unsur perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pembangunan ruang kelas tersebut. Polisi juga masih menunggu hasil dari ahli apakah kejadian ini akibat kesalahan konstruksi atau unsur lainnya.
Asep berjanji hasil penyelidikan dan penetapan tersangka akan keluar dalam satu atau dua pekan ke depan. Garis polisi sudah dibuka pada Selasa (7/3) sore kemarin, karena olah TKP dinyatakan sudah selesai. Selain itu, agar pemerintah dapat segera memperbaiki bangunan ruang kelas yang rusak.
Menurut Asep, anggaran pembangunan gedung ini berasal dari dua sumber, yakni APBN Rp 340 juta dan sumbangan swadaya komite sekolah. "Kami juga akan pertanyakan dari uang sekian itu penggunaannya seperti apa, kemudian bagaimana dengan yang dibangun. Itu ada korelasinya pasti," ujar Asep.