REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang ke 14 kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menghadirkan saksi ahli dari buku terlapor ahli pidana dari Fakultas Hukum UGM, Edward Omar Haritjh. Dalam keterangannya sebagai saksi, Edward menyampaikan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) seharusnya bersifat obyektig, independen dan netral.
"Jangan sampai termasuk bagian dari pelapor atau memiliki kepentingan konflik dengan persoalan yang melilit terlapor," ujarnya usai persidangan di Kementerian Pertanian, Selasa (14/3).
Karena itu, ia meminta kepada Majelis Hakim agar mempertimbangkan untuk menghadirkan ahli yang independen dalam sidang ahok ini. Karena saat gelar perkara di Bareskrim pada 15-16 November lalu, kata dia, ada ahli pidana lain yang diminta keterangan selain dirinya.
"Seperti Indiarto Senoaji dan Eva Achjani Zulfa yang menurutnya bisa secara obyektif diminta keterangannya," katanya mengusulkan.
Selain mengusulkan kepada Majelis Hakim untuk menghadirkan Saksi Ahli yang dianggap lebih netral, Edward juga menyampaikan perbedaan antara kesengajaan dan niatan dalam kasus penghinaan agama. Menurutnya, kesengajaan dan ada niat itu adalah hal yang berbeda.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 a yang disangkakan dalam kasus Ahok ini tidak hanya dibutuhkan kesengajaan, tapi juga adanya niat. Sedangkan niat itu tidak bisa serta merta diukur hanya dengan ucapan tapi harus dilihat keadaan kesehariannya.
"Apakah betul pelaku itu mempunyai niat atau tidak," terang Dosen Fakultas Hukum UGM ini.
Termasuk ketika JPU memasang dakwaan pasal alternatif kepada pelaku, menurutnya Jaksa menunjukkan keraguan atas apa yang akan dituduhkan kepada terdakwan. Apakah pasal 156 atau 156 a di dalam KUHP. Ini menurutnya memperlihatkan JPU ada keraguan.
Kemudian ketikan diminta keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dua kali, pertama saat gelar perkara dan kedua setelah gelar perkara. Saat setelah gelar perkara ia mengaku diperlihatkan video Ahok yang menjadi polemik itu, kemudian buku yang ditulis oleh Ahok juga.
"Dalam BAP itu saya sampaikan berdasarkan apa yang ada dan saya lihat dan dengar ada kata-kata, 'patut diduga'," kata dia.
Kata 'patut diduga' itu, menurutnya menunjukkan ia sendiri memiliki keraguan untuk menyatakan apakah memenuhi pasal penistaan agama atau tidak. Karena dalam pasal 156 a, itu tidak menghendaki kesengajaan.
Menurutnya kesengajaan itu adalah suatu perbuatan nyata, tetapi sesuatu yang paling penting adalah niat. Sedangkan niat tidak bisa diukur dengan apa yang diucapkan. tapi harus dilihat keadaan kesehariannya, untuk sampai pada kesimpulan apakah menuju penistaan agama atau tidak.