Jumat 17 Mar 2017 11:05 WIB

LBH Nilai Reklamasi Teluk Jakarta Cacat Prosedur, Ini Penjelasannya

Rep: Muhyiddin/ Red: Nur Aini
Majelis Hakim membacakan putusan gugatan nelayan, Walhi, dan KNTI terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait proyek reklamasi Pulau F, I, K di Ruang Kartika, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (16/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Majelis Hakim membacakan putusan gugatan nelayan, Walhi, dan KNTI terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait proyek reklamasi Pulau F, I, K di Ruang Kartika, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah mengabulkan gugatan nelayan dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta atas proyek reklamasi Pulau F, I, dan K dalam sidang pembacaan putusan perkara tersebut pada Kamis (16/3) kemarin.

Menanggapi hal itu, kuasa hukum nelayan dari LBH, Tigor Hutapea mengungkapkan beberapa poin atas cacat prosedur terkait pembangunan proyek reklamasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pengembang. Menurut dia, majelis hakim telah menimbang bahwa reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan oleh pengembang cacat prosedur karena izin reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh tergugat.

"Ada beberapa poin alasan cacat prosedur dan substansi," ujar Tigor kepada Republika.co.id, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/3).

Poin tersebut yakni, Pertama, kata Tigor, izin reklamasi tersebut diterbitkan secara diam-diam oleh tergugat. Keberadaan izin baru diketahui para penggugat pada 10 Desember 2015 padahal ditandatangani sejak Oktober dan November 2015.

Kedua, kata dia, reklamasi akan menimbulkan kerugian yang lebih besar terhadap ekosistem teluk Jakarta. Hal itu akibat rusaknya pola arus laut dan jaringan sosial ekonomi dari nelayan tradisional yang ada di pesisir Jakarta. Ketiga, Gubernur DKI Jakarta tidak mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait erat antaralain UU Pesisir hingga UU Kelautan.

Keempat, Gubernur DKI Jakarta tidak mendasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP3K) yang menjadi pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir. Kelima, tidak melakukan proses konsultasi publik dengan benar dalam penyusunan AMDAL, dengan tidak ada keikutsertaan perwakilan masyarakat dalam penyusunan AMDAL. Gubernur melanggar Pasal 30 UU 32/2009 LH yang mengatur partisipasi dalam kebijakan lingkungan.

Keenam, izin lingkungan cacat prosedur karena diterbitkan diam-diam dan tidak ada melakukan pengumuman kepada masyarakat. Ketujuh, cacat substansi, cacat prosedur serta melanggar asas ketelitian dan asas umum pemerintahan yang baik.

Delapan, reklamasi tidak ditujukan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dilanjutkan sampai keputusan berkekuatan hukum tetap. "Terakhir, harus diterapkan prinsip kehati-hatian pada objek TUN di mana terjadi ketidakpastian ilmiah maka haruslah berpihak kepada perlindungan lingkungan hidup (in dubio pro natura)," kata Tigor.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement