Senin 03 Apr 2017 17:11 WIB

GNPF MUI: Tuduhan Makar Mengebiri Hak Dasar Masyarakat

Rep: Fuji EP/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Umum Parmusi Ustaz Usamah (Kiri), Tim Pengacara Ustaz Michdan, Pembina GNPF MUI KH Abdur Rosyid dan Tim Advokasi GNPF MUI Kapitra Ampera (Kanan) bersama perwakilan ormas Islam lainnya menggelar Konferensi Pers Bebaskan KH Muhammad Khaththath di Islamic Center AQL, Senin (3/4).
Foto: Republika/Fuji EP
Ketua Umum Parmusi Ustaz Usamah (Kiri), Tim Pengacara Ustaz Michdan, Pembina GNPF MUI KH Abdur Rosyid dan Tim Advokasi GNPF MUI Kapitra Ampera (Kanan) bersama perwakilan ormas Islam lainnya menggelar Konferensi Pers Bebaskan KH Muhammad Khaththath di Islamic Center AQL, Senin (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Kapitra Ampera tuduhan penangkapan dan tuduhan makar terhadap Sekjen FUI KH Muhammad Al-Khaththath telah mengebiri hak-hak dasar manusia.

"Kebebasan mengeluarkan pendapat, menyampaikan aspirasi, demonstrasi itu kebebasan dasar masyarakat sebagai manusia," tegasnya kepada Republika.co.id usai Konferensi Pers "Bebaskan KH Muhammad Khaththath" di Islamic Center AQL, Senin (3/4).

Kapitra menjelaskan, ketika seseorang melaksanakan haknya sebagai masyarakat dan warga negara, maka kewajiban orang lain untuk menghormatinya. Dia sangat menyayangkan ketika seseorang sedang melaksanakan fungsi konstitusinya, kemudian dijadikan makar.

Padahal, Kapitra melanjutkan orang melakukan demonstrasi sesuai konstitusi. Tapi malah dituduh makar hanya karena melakukan pertemuan tanpa niat makar dan permulaan makar. Menurutnya, makar adalah kejahatan luar biasa, tentu harus ada bukti fisik seperti senjata dan segala macamnya untuk makar.

"Karena menggulingkan pemerintah tidak bisa dengan mulut," ujarnya.

Ia menjelaskan, inilah yang mengebiri hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia. Menurutnya, hal ini disebut extraordinary crime. Kejahatan yang luar biasa, kejahatan di atas kejahatan.

Ia menegaskan, harusnya tidak boleh seperti ini karena Negara Indonesia sudah mengambil keputusan sesuai konsensus nasional yang tertuang dalam UUD. Bahwasannya negara ini merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.

"Kalau negara hukum, semua kekuasaan tunduk kepada hukum dan masyarakat juga tunduk pada hukum," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement