REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik, Muchtar Effendi, mengatakan, aksi 313 lebih kepada persoalan menuntut keadilan. Muchtar menjelaskan, aksi 313 jauh dari maksud undang-undang makar, sebab hal tersebut merupakan tuntutan ditegakkannya hukum atas terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama.
"Ini lebih banyak persoalan keadilan," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/4).
Muchtar menjelaskan, jika dilihat dari hubungan antara masa aksi dan yang dituntut, hal tersebut merupakan sinergi dari kelompok oposisi masyarakat yang inginkan penegakan hukum.
"Ini tentang hubungan yang tidak sinergi dengan masyarakat madani dengan rezim kekuasaan," katanya.
Tuntutan masyarakat yang melakukan aksi tak lain untuk menuntut kebijakan untuk agar terdakwa kasus dugaan penistaan agama segera dipenjarakan ahok. "Agar Ahok dinonaktifkan karena berstatus terdakwa," ujarnya.
Lebih lanjut, pengamat asal Network for South East Asian Studies (NSEAS) ini menjelaskan, pada masa Orde Baru, kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan aksi ke penguasa sering dilabeli dengan istilah ekstremisme.
"Pada zaman orde baru, itu sering dilabeli dengan kelompok ekstrem kiri ekstrem kanan," katanya.
Fakta saat ini, kata dia, tidak lagi dilabeli dengan kata ekstrem kiri atau kanan melainkan lebel makar. "Isu makar ini dikeluarkan rezim Jokowi untuk menekan dan mengendalikan oposisi yang begitu gencar saat ini, khususnya di Jakarta," ujarnya.