Sabtu 15 Apr 2017 09:00 WIB

Pencegahan Setnov tak Boleh Diintervensi Kekuasaan Apa Pun

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Indira Rezkisari
Ketua DPR Setya Novanto menerima kunjungan pengurus GP Anshor di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/4).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Ketua DPR Setya Novanto menerima kunjungan pengurus GP Anshor di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar menjabarkan, pencegahan atau penangkalan terhadap seseorang yang terkait suatu tindak pidana adalah bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Maka dari itu, pencegahan yang diberlakukan KPK terhadap Ketua DPR Setya Novanto tidak boleh diintervensi kekuasaan apapun.

"Pencegahan atau penangkalan terhadap seseorang yang terkait suatu tindak pidana adalah bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari intervensi kekuasaan apapun. Termasuk, dari legislatif (DPR)  maupun eksekutif (Presiden)," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (15/4).

Fickar melanjutkan, tidak bolehnya kekuasaan apapun mengintervensi pencekalan Setya Novanto sebagai konsekuensi dari Indonesia sebagai negara demokrasi berdasarkan hukum. Sehingga, yang berkuasa bukanlah orang per orang, melainkan hukum yang mengatur kehidupan bernegara.

"Ini konsekuensi dari Indonesia sebagai negara demokrasi berdasarkan hukum. Jadi yang berkuasa bukanlah orang per orang, tetapi hukum yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat," terang Fickar.

Sebelumnya, Dirjen Imigrasi Kemenkumham mengeluarkan pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Setya Novanto atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pencegahan dilakukan karena Setya Novanto merupakan saksi penting untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus korupsi KTP El.

Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan tersebut. Langkah tersebut menindaklanjuti nota keberatan Fraksi Partai Golkar dan telah menjadi surat resmi kelembagaan karena telah disepakati dalam rapat Badan Musyawarah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement