REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa pengacara Elza Syarief sebagai saksi dalam penyidikan memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara proyek KTP Elektronik (KTP-el) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Miryam S Haryani," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (17/4).
Sementara Elza menyatakan bahwa pemeriksaannya kali ini berkaitan pertemuannya dengan Miryam S Haryani di kantornya. Ia pun menyatakan bahwa Miryam sempat berbicara kepada dirinya bahwa ada tekanan untuk mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam proses penyidikan kasus proyek KTP-el.
"Ada sih, tetapi itu masuk materi 'pro justitia'. Teman-temannya yang namanya ada di surat dakwaan," ucap Elza yang datang di gedung KPK sekitar pukul 09.30 WIB itu.
Sebelumnya, pengacara Elza Syarief membantah dirinya yang mengusulkan agar mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam proses penyidikan kasus pengadaan paket KTP berbasis nomor induk kependududkan secara nasional (KTP-el).
"Untuk apa saya usukan cabut BAP dia, justru saya ingin dia jadi 'justice collaborator'," ucap Elza, setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam penyidikan kasus pengadaan KTP-el di gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/4).
Elza mengaku selalu memberikan saran yang baik sebelum Miryam menjadi saksi di persidangan perkara KTP-el pada Kamis (23/3) lalu. "Saya selalu memberikan saran yang baik, bicara sesuai dengan fakta yang ada karena kan di KPK lengkap ada alat perekam suara dan videonya juga ada," tuturnya.
Ia juga mengatakan kepada Miryan, apabila menghalang-halangi penyidikan, maka ancaman hukumannya juga tinggi. "Misalnya, kalau sampai memberikan keterangan palsu di bawah sumpah itu kan bisa kena 12 tahun, kalau menghalang-halangi penyidikan. Sedangkan kalau gratifikasi kan ancamannya lima tahun, jadi kan rugi banget," ucap Elza.
Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.