Kamis 20 Apr 2017 13:31 WIB

JPU Nilai Ahok tak Terbukti Menodai Agama

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba untuk mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba untuk mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) menilai, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak terbukti melakukan penodaan agama seperti dalam dakwaan Pasal 156a KUHP. Ahok hanya dituntut dakwaan alternatif Pasal 156 KUHP karena melakukan tindak pidana di muka umum, menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan dengan tuntuan pidana satu tahun penjara, dengan masa percobaan dua tahun.

Menurut tim JPU, berdasarkan dari fakta hukum selama persidangan berlangsung, disimpulkan tidak adanya niat pejawat tersebut melakukan penodaan agama seperti dalam dakwaan.

Salah satu faktanya dapat disimpulkan dari rangkaian perbuatan terdakwa seperti pengalaman terdakwa ketika mengikuti Pemilihan Gubernur Provinsi Bangka Belitung 2007 sampai dengan Pilkada DKI 2017-2022. Menurut JPU, tampak bahwa niat terdakwa adalah lebih ditujukan kepada orang lain atau elite politik dalam kontes pilkada.

"Mengingat kesengajaan Pasal 156 a huruf a KUHP adalah dengan maksud untuk memusuhi dan menghina agama, maka pembuktian Pasal 156 a huruf a KUHP tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo," kata Ketua JPU Ali Mukartono di dalam ruang persidangan, auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).

Ali menjelaskan, dalam Pasal 156a KUHP terdapat unsur dengan sengaja.

"Jika kita lihat Pasal 4 huruf a UU No 1/PNPS 1965 sebagai penjelasan Pasal 165a huruf a KUHP terdapat frasa 'semata-mata yang menunjukkan adanya sikap bagi pelaku yang menghendaki terpenuhinya delik'. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa delik sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP hanya diliputi oleh kesengajaan dengan maksud untuk menghina pada agama, bukan bentuk kesengajaan yang lain," kata Ali.

Sementara dari fakta selama persidangan yang sudah berjalan selama 19 kali  telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua Pasal 156 KUHP.

"Sepanjang persidangan terdapat fakta-fakta. Tak terdapat yg meniadakan dalam pertanggungjawaban terdakwa. Oleh karena itu terdakwa wajib pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana," ujarnya.

Ali menerangkan, beberapa pertimbangan yang memberatkan Ahok adalah lantaran  perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan kesalahpahaman masyakarat antargolongan.

Sementara hal yang meringankan adalah terdakwa mengikuti proses hukum dengan baik, sopan selama berada di persidangan dan ikut andil dalam membangun kota Jakarta. Selain itu, terdakwa juga telah mengaku akan terus berperilaku lebih humanis.

"Timbulnya keresahan masyarakat juga karena adanya unggahan Buni Yani," kata Ali.

Mendengar tuntutan JPU, Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto langsung menanyakan kepada terdakwa dan penasihat hukum. "Oleh karena tuntutan sudah dibacakan. Dan masing-masing sudah terima salinan tuntutan. Selanjutnya giliran terdakwa memberikan pleidoi. Tinggal bermusyawarah," ujar Dwiarso.

Terdakwa pun menjawab akan mengajukan pleidoi. "Kami akan ajukan pleidoi masing-masing," kata Ahok. Majelis hakim pun memutuskan untuk melanjutkan persidangan dengan agenda pleidoi pada Selasa (25/4) pekan depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement