REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menyatakan bahwa Aksi Simpatik 55 yang digelar Jumat (5/5) kemarin, dimaknai bukan sebagai aksi. Melainkan reaksi terhadap sebuah ketidakadilan dari penyelesaian kasus penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Hemat saya, ini bukan aksi tapi reaksi dari ketidakpercayaan publik, khususnya umat Muslim pada aparatur negara dalam penegakkan hukum kasus penistaan tersebut,” kata Warlan saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (6/5).
Warlan mengatakan, aparat penegak hukum dituntut untuk lebih fair dan merasakan keadaan publik saat ini. Warlan menyampaikan, pengadilan jelas harus bebas dari tekanan, tidak boleh ada pengaruh, intervensi. Namun melihat perjalanan kasus penistaan agama ini masyarakat sepertinya terusik. Sehingga ada baiknya untuk diperhatikan.
Dalam Undang-undang kehakiman, Warlan mengatakan, dijelaskan hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang yang dirasakan oleh masyarakat. “Mudah-mudahan hakim selalu mengacu dan menggali juga nilai keadilan tersebut. Khawatirnya, jika ternyata hakim tidak menggali nilai tersebut, akan terjadi kekacauan publik,” ungkap dia.
Warlan mengaku heran dengan perjalanan penegakkan hukum pada kasus penista agama yang menimpa Ahok. Menurut dia, semua penista agama sebelum Ahok, semuanya dihukum berat. Padahal semua penista agama tersebut tidak seberat kasus Ahok. “Itu ukurannya, tiba-tiba ketika menimpa Pak Ahok, kok rasanya jauh dari apa yang diterapkan dari kasus dulu. Seperti Arswendo, Lia Eden,” kata Warlan.
Sehingga dia memandang, Aksi Simpatik 55 yang sudah digelar kemarin itu, dinilai sebagai suatu kewajaran dalam protes-protes pengadilan.