REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menyatakan pemerintah harus memperhatikan secara serius soal pemerasan dan pungutan liar (pungli) yang terjadi di rumah tahanan (rutan).
Menurut Hifdzil, kondisi tersebut sebetulnya ada di banyak rutan di berbagai daerah dan tidak hanya terjadi di rutan Pekanbaru, Riau. Namun, banyak kalangan yang memang menutup mata sehingga persoalan yang ada di rutan tak kunjung terselesaikan.
"Kita tidak boleh menutup mata, karena memang itu (pemerasan dan pungli) ada di mana-mana," tutur dia saat dihubungi, Selasa (9/5).
Terlebih, lanjut Hifdzil, ada persoalan kapasitas rutan yang tidak mampu menampung besarnya jumlah tahanan. Dalam kondisi ini, kenyamanan pun menjadi barang mewah bagi para tahanan. Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oknum sipir di rutan. "Terutama karena kapasitas jumlah yang sudah overload," kata dia.
Karena itu, Hifdzil mengatakan, jika ingin memperbaiki persoalan tersebut, memang perlu ada upaya untuk memilah kasus pidana apa saja yang harus memasukan terpidananya ke bui.
Menurut dia, perkara pidana yang tergolong ringan memang harus dipertimbangkan untuk tidak memasukan terpidana ke dalam sel tahanan. "Tidak semuanya harus masuk ke lapas. Kalau kejahatan ringan ya okelah. Nyolong sendal, nyolong ternak enggak masalah," ucap dia.
Meski begitu, untuk kejahatan khusus seperti tindak pidana korupsi, harus dikecualikan. Terpidana korupsi harus tetap dibui tanpa perlu mempertimbangkan kondisi kapasitas rutan yang tidak cukup menampung tahanan. "Kalau pembunuhan, korupsi, narkoba, itu besar sekali kejahatannya," tutur dia.
Hifdzil juga setuju dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bahwa terpidana yang masa hukumannya hanya 1 tahun lagi perlu dibebaskan. Sebab, kondisi rutan yang ada sekarang memang jauh dari harapan.
Meski diberikan hukuman penjara tiga tahun, sebetulnya terpidana di rutan-rutan yang over-kapasitas sudah menjalani masa hukuman dua kali lipatnya. "Jadi tidak semua harus bermuara di lapas. Menurut Hifdzil, vonis 2 hingga 3 tahun, tidak perlu dieksekusi dengan pidana penjara. Orang-orang terpidana dengan masa hukuman itu bisa diberdayakan oleh pemerintah agar tidak kembali melakukan kejahatan.
Misalnya, yang bersangkutan harus diberikan pendidikan, keahlian, kemudian berikan lagi apa yang dia dapat ke masyarakat. "Ini memang harus diperhatikan serius. Di Kanada itu sudah dilakukan. Itu berhasil. Kalau di Indonesia diterapkan, ya itu bagus," ujar dia.