REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif), Adelline Syahda, mengkritisi proses seleksi calon anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2017-2022. Proses dan parameter seleksi dinilai tidak mempertimbangkan transparansi.
Saat ini, kata Adelline, telah beredar lima nama calon anggota DKPP. Lima nama yang disebut merupakan versi DPR dan pemerintah teraebut yakni Prof Topo Santoso (ahli hukum pidana Universitas Indonesia), Yuswandi A Tumenggung (Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri), Prof Muhammad (mantan ketua Bawaslu periode 2012-2017), Prof Teguh Prasetyo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana) dan Alfitra Salamm (peneliti politik LIPI).
"Yang kita lihat saat ini adalah seleksi anggota DKPP tidak ada prosesnya. Tiba-tiba ada nama-nama yang beredar," ujar Adelline kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (5/6).
Menurut dia, posisi DKPP sebagai bagian penyelenggaraan pemilu sama pentingnya dengan KPU dan Bawaslu. DKPP memiliki fungsi sebagai pembina penyelenggara pemilu yang menyalahi peraturan.
Dengan begitu, pihaknya menyarankan seleksi anggota DKPP sebaiknya sama seperti proses seleksi komisioner KPU dan Bawaslu. Proses yang dimaksud yakni ada mekanisme pendaftaran dan tim seleksi.
"Lewat kedua proses yang terbuka itu, ada keterlibatan masyarakat sipil. Ada masukan dan ada tahapan untuk mengetahui kualitas para calon," tambah Adelline.