REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menilai, praktik sistem presidensial setengah hati tengah terjadi di Indonesia. Hal itu bukan karena persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), namun karena lemahnya budaya politik konsensual.
"Selama ini, presidensialisme setengah hati sebenarnya tercipta bukan karena persoalan ambang batas, melainkan karena lemahnya budaya politik konsensual," kata Arif saat dihubungi Republika, Rabu (14/6).
Lemahnya budaya politik konsensual yang dimaksud ARif adalah, baik internal DPR maupun dalam kerangka hubungan DPR-Pemerintah kerap sulit terwujud konsensus. Itu terjadi karena menurutnya terjadi perilaku politik yang mengedepankan transaksi ketimbang musyawarah-mufakat.
Seperti diketahui, saat ini suara di parlemen terkait ambang batas pencalonan presiden terbelah. Sejumlah partai bersikeras agar ambang batas tetap ada.
Bahkan partai di pihak pemerintah seperti Golkar, PDI Perjuangan dan Nasdem setuju atas usulan pemerintah. Yakni, presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Berbeda dengan Demokrat dan PAN yang ngotot agar ambang batas pencalonan presiden ditiadakan atau sebesar nol persen.