Kamis 15 Jun 2017 14:24 WIB

PSHK: Hak Angket KPK Berangkat dari Asumsi tidak Tepat

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting (kanan)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai, hak angket terhadap KPK berawal dari asumsi yang tidak tepat, yaitu KPK berjalan tanpa pengawasan. Padahal menurutnya, asumsi tersebut tidak tepat karena pengawasan terhadap KPK melekat dalam sistem peradilan pidana.

"Hak Angket terhadap KPK berangkat dari asumsi yang tidak tepat yaitu bahwa KPK berjalan tanpa pengawasan. Sebagai penegak hukum yang menjalankan kewenangan pro justitia, pengawasan terhadap KPK melekat dalam sistem peradilan pidana," kata Miko kepada Republika.co.id, Kamis (15/6).

Miko mencontohkan, ketika melakukan penyadapan, KPK wajib menghadirkan rekaman penyadapan itu ke pengadilan agar dapat diterima sebagai bukti. Kemudian, ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka KPK wajib melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diperiksa secara terbuka.

"Hal ini berlaku sama untuk kewenangan-kewenangan penegakan hukum KPK lainnya. Artinya, KPK dilengkapi sistem pengawasan dan harus tunduk pada sistem peradilan pidana yang mengharuskan adanya mekanisme saling uji," jelasnya.

Selain berawal dari asumsi yang tidak tepat, menurutnya penggunaan Hak Angket juga akan bertentangan dengan independensi KPK dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi. Apalagi, terdapat konflik kepentingan di antara pengusung dan anggota Pansus Hak Angket tersebut.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement