Jumat 16 Jun 2017 13:09 WIB

Menyoal Tukar Uang Baru di Hari Raya

Penjual jasa penukaran uang baru menawarkan uang baru kepada pengguna jalan di pinggiran jalan, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (6/6). Pada bulan Ramadan, para penjual jasa penukaran uang baru ramai bermunculan di pinggir-pinggir jalan, mereka menukarkan uang baru tersebut dengan tambahan 10 persen dari jumlah uang yang ditukarkan.
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Penjual jasa penukaran uang baru menawarkan uang baru kepada pengguna jalan di pinggiran jalan, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (6/6). Pada bulan Ramadan, para penjual jasa penukaran uang baru ramai bermunculan di pinggir-pinggir jalan, mereka menukarkan uang baru tersebut dengan tambahan 10 persen dari jumlah uang yang ditukarkan.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Menjelang Hari Raya Idul Fitri, para penjaja rupiah semakin marak. Mereka mangkal di titik-titik keramaian dari terminal bus, stasiun kereta, bandara hingga pasar. Mereka menawarkan jasa tukar uang rupiah baru dalam beragam besaran.

Dari dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, hingga dua puluh ribu rupiah. Mereka hendak memenuhi permintaan masyarakat akan uang baru yang masih bersih dan kaku. Berdasarkan tradisi yang berlaku, uang-uang itu akan dibagikan kepada handai taulan sebagai hadiah saat hari kemenangan.

Para penjaja rupiah ini pun mengutip uang jasa dalam penukaran tersebut. Sebagai contoh, uang senilai Rp 10 ribu yang akan ditukar dengan Rp 100 ribu, konsumen harus membayar uang senilai Rp 110 ribu. Margin Rp 10 ribu dikutip oleh pengguna jasa tersebut sebagai untung dari usahanya menukarkan uang.

Ketentuan atau hukum penukaran uang menurut Islam telah tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) pada tahun 2002. Namun, hingga kini tak sedikit masyarakat yang masih 'buta' akan hukum tukar uang tersebut.

Kaidah Alquran dalam surah al-Baqarah ayat 275 bahwa semua jual beli adalah halal kecuali riba menjadi panduan. Tak hanya terhindar dari riba, jual beli tersebut hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak.

Mengenai transaksi jual beli sudah ditentukan enam barang yang disebut dengan barang ribawi. Barang ini harus ditukar dengan bersamaan jenis, seperti dikutip dari hadis dari Muslim, Abu Dawud, At Tirmidziy, an- Nasaiy, dan Ibnu Majah.

Hanya, memang ada ulama yang membuat kias akan barang tersebut sesuai dengan kebermanfaatannya. "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum de ngan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai."

Di dalam hadis riwayat Muslim lainnya yang dirawikan dari Abu Said al-Khudriy, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kamu men jual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya), dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai."

Fatwa MUI menjelaskan, tran saksi jual beli mata uang (ash-sharaf) sebenarnya boleh dilakukan. Hanya, ada ketentuan yang harus dipenuhi. Pertama, transaksi tersebut tidak untuk spekulasi alias untung-untungan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement