Rabu 28 Jun 2017 13:54 WIB

Pemilu Serentak Sebabkan Pembahasan RUU tak Kunjung Selesai

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, bulan lalu.
Foto: antara/wahyu putro a
Rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, bulan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan keserentakan pemilu 2019 menyebabkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu sulit menemukan titik temu.

Partai politik (Parpol) dan politikus sama-sama tidak dapat memprediksi hasil perolehan suara pada pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Dia menuturkan, pelaksanaan Pileg dan Pilpres pada 2019 dilakukan secara bersamaan. Ini berbeda dengan sistem sebelumnya yang mana Pileg dilakukan lebih dulu baru kemudian Pilpres.

"Pada 2014 lalu misalnya, parpol bisa bersiap-siap. Jika pileg harus memperoleh sekian persen suara sehingga baru bisa mengajukan calon presiden (capres). Kalau 2019 tidak bisa seperti itu," ujarnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (28/6).

Kondisi perolehan suara yang tidak bisa diprediksi sejak awal inilah yang menyebabkan Parpol mencari cara untuk memastikan kondisi ke depan.

"Yang bisa diutak-atik kan peraturannya atau RUU-nya. Dibatasi dulu dalam undang-undang," lanjutnya.

Menurut Aditya, kukuhnya pendirian parpol dalam menyikapi isu krusial ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) dikarenakan mereka masih melihat celah untuk mengusung Capres. Sementara untuk Parpol besar seperti PDIP dan Golkar, tetap mendukung ambang batas seperti sebelumnya karena diduga ingin membatasi kesempatan Parpol menengah dan Parpol kecil.

"Pada pemilu sebelumnya Parpol tidak terlalu pusing menentukan strategi. Sebab, misalnya pada 2009 parpol memperoleh suara lima persen, maka pemilu 2014 minimal jumlah perolehan suara tetap atau naik menjadi tujuh persen. Dengan begitu, langkah koalisi dipastikan, tidak seperti sekarang," jelasnya.

Sebelumnya, jeda libur lebaran belum dapat mencairkan sikap sejumlah fraksi mengenai isu krusial ambang batas pencalonan presiden. Sejumlah fraksi, yakni PKS, Demokrat, PAN dan Gerindra, masih bertahan dengan ambang batas pencalonan presiden sebesar nol persen.

Sementara itu, sejumlah fraksi lain yakni PDIP, Golkar dan Nasdem menginginkan besaran angka 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah nasional. Di sisi lain, fraksi PKB menginginkan besaran ambang batas setara dengan ambang batas parlemen. Fraksi Hanuran dan PPP menginginkan ambang batas sebesar 10 persen.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement