REPUBLIKA.CO.ID, SAYLORSBURG -- Fethullah Gulen mengaku tak akan meninggalkan Amerika Serikat (AS) dan akan menerima ekstradisi bila Washington dan Ankara sepakat untuk itu.
Dalam sebuah wawancara di Pennsylvania, Gulen (79 tahun) membantah tudingan Turki yang menyebutnya meninggalkan Kanada untuk menghindari ekstradisi. ''Rumor itu sama sekali tidak benar,'' kata Gulen, Rabu (12/7).
Bila AS melihat dirinya pantas diekstradisi, Gulen mengaku bersedia. Gulen sendiri sudah membantah tudingan upaya kudeta atas Pemerintahan Turki yang sempat dialamatkan padanya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Pemerintah Turki sempat menuduh Gulen sebagai dalang percobaan kudeta Turki pada Juli lalu. Lebih dari 240 orang tewas dalam upaya itu.
Kedutaan Besar Turki di Washington menolak mengomentari pernyataan Gulen tersebut. Gedung Putih pun tidak memberi respons. Pemerintah Turki di Ankara juga memilih diam.
Pada Mei lalu, Erdogan sempat menyatakan Turki akan mengusahakan ekstradisi Gulen. Meskipun sejauh ini tak nampak upaya konkret atas pernyataan itu.
Sementara itu, sejumlah petinggi AS sempat menyatakan meski Erdogan meminta langsung ekstradisi kepada Presiden AS Donald Trump, Turki harus menunjukkan bukti yang cukup kepada Departemen Hukum atas permintaan itu. Isu ekstradisi ini menjadi topik utama hubungan kedua negara anggota NATO itu.
Gulen berharap pemerintahan Trump tidak akan mengizinkan ekstradisi ini berlanjut, terutama setelah mantan penasihat keamanan nasional AS Michael Flynn mundur tak lama setelah Trump dilantik.
Gulen yang pernah jadi sekutu Erdogan, hidup menjadi eksil sejak 1999 dan memilih bergerak dalam gerakan yang ia sebut gerakan kemanusiaan keagamaan. Para pengikut Gulen beroperasi di berbagai belahan dunia dalam jaringan sekolah dan bisnis dalam Gerakan Gulenis.
Jaringan Gulen ditetapkan sebagai jaringan teroris oleh Badan Keamanan Turki, dua bulan setelah upaya kudeta Pemerintah Turki gagal. Pascaitu, Gulen makin termarjinalkan dari panggung politik.