REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat sebagai provinsi dengan nilai gini ratio paling tinggi se-Indonesia. Gini ratio menggambarkan tingkat ketimpangan ekonomi yang diukur dari pengeluaran penduduknya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, nilai gini ratio nasional per Maret 2017 lalu sebesar 0,393. Angka ini nyaris tak ada perubahan dibandingkan nilai gini ratio pada September 2016 lalu sebesar 0,394.
Namun, ternyata masih ada sembila provinsi yang nilai gini ratio-nya bahkan di atas nilai gini ratio nasional. DI Yogyakarta menempati posisi teratas dengan gini ratio 0,432, diikuti Gorontalo dengan 0,430, DKI Jakarta dengan 0,413, Sulawesi Selatan dengan 0,407, Jawa Barat dengan 0,403, Papua sebesar 0,397, Jawa Timur sebesar 0,396, Sulawesi Utara dengan gini ratio 0,396, dan Sulawesi Tenggara dengan 0,394.
Meski Jogja menjadi daerah dengan ketimpangan ekonomi tertinggi, namun ternyata kondisi ini tidak semata-mata lantaran jarak antara si kaya dan si miskin yang terlampau jauh. Ada sisi sosial dan budaya yang membuat pengeluaran masyarakat kelompok bawah dan atas terkesan timpang signifikan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengakui kondisi di Jogja terbilang unik. Unik, lanjutnya, lantaran pola konsumsi di Jogja yang terkait dengan pola hidup sederhana dan hemat oleh sebagian besar masyarakatnya.
Penjelasannya, kelompok masyarakat ekonomi bawah di Jogja cenderung memiliki kebiasaan berhemat. Tak hanya ekonomi bawah, sebagian masyarakat Jogja juga terkenal hemat dan tidak membelanjakan uang secara berlebih.
"Pola konsumsi yang unik di Jogja. Lapisan bawah, orang Jogja itu lapisan bawahnya konsumsinya sangat hemat," ujar Sairi di Kantor Pusat BPS, Senin (17/7).
Sementara, BPS mengukur ketimpangan dari sisi pengelurannya. Artinya pengeluaran masyarakat Jogja yang hemat diadu dengan konsumsi sebagian masyarakat Jogja ekonomi menengah ke atas yang mulai konsumtif. Meski Sairi mengelak hal ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di Jogja yang terbilang pesat, ia menilai bahwa fenomena ini lebih karena watak masyarakat Jogja yang "berhemat".
"Kalau rumah tangga miskin sangat hemat, jelas. Sedangkan konsumsi lapisan atas mengikuti kita-kita semua. Jadi gap-nya memang jauh dan tinggi," katanya.
Secara kultur, Sairi juga menyinggung adanya kearifan lokal dan budaya Jawa seperti puasa mutih. Puasa yang dilakukan dengan hanya mengkonsumsi nasi putih dan air putih ini, membuat sisi pengeluaran rumah tangga penduduk di Jogja juga menjadi minim. BPS melihat Jogja memiliki keunikan dari sisi sosial dan budaya yang membuat angka ketimpangan menjadi begitu tinggi. Bukan semata karena jarak antara si kaya dan miskin begitu jauh, namun ada faktor budaya di dalamnya.
Istimewanya, meski gini ratio masyarakat Jogja terlampau tinggi dibanding daerah lain di Indonesia, namun indeks kebahagiaan masyarakat Jogja diakui tertinggi di Indonesia. Sairi menyebutkan, Jogja bersanding dengan DKI Jakarta sebagai daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia.
"Namun di sana kalau dikur dengan indikator lain, orang Jogja jauh lebih bahagia dibanding daerah lain, walaupun miskin," katanya.