REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, pemberlakuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen suara memunculkan diskriminasi dalam pemilu. Menurut Titi, dalam pemilu serentak tidak bisa diberlakukan lagi presidential threshold.
"Ketika pemerintah meminta untuk memberlakukan presidential treshold dan DPR sudah paham betul akan ada konsekuensi hukum atas pilihan yang dibuat tersebut," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (21/7).
Titi menegaskan, sudah dipastikan akan ada upaya hukum yang dilakukan beberapa pihak karena menolak pemberlakuan presidential treshold tersebut. Titi juga menilai, proses penolakan juga tidak hanya di luar parlemen, bahkan juga muncul dari kalangan DPR sendiri.
"Di lingkungan dalam parlemen pun menyampaikan akan melakukan upaya hukum," katanya.
Titi menambah, ada beragam alasan menolak pemberlakuan PT 20 persen, salah satunya adalah ketentuan pasal 6 A ayat 2 UUD 1945. Pasal tersebut bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
"Jika pemberlakuan PT diterapkan maka pada pemilu 2019 tidak semua peserta pemilihan umum memiliki kesetaraan peluang untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden," jelas dia.
Hak pencalonan presiden dalam PT 20 persen kata dia, direflesikan dari perolehan suara hasil pemilu legislatif yang lalu. Sementara jika partai baru, maka partai tersebut tidak punya peluang untuk membangun posisi politik yang sama dengan partai yang punya kursi dan suara di tahun 2014.
"Di sana saja sudah ada ketidakadilan perlakuan kan? partai peserta pemilu yang baru akan hanya menjadi pengikut posisi politik yang dimiliki partai politik yang lalu," ujarnya lagi.